K-On Mio Akiyama

Friday, March 16, 2012

[Short Story] Yume no "Seonbae"

Title : Yume no "Seonbae"
Categories: Short Story
2978 Words (10 pages MsWord, TNR12pt, space 1,5)
Genre: Romance
Rating: G
Author: Sefriska Talitakum Maria
Also Published On: Wattpad
Cover by: Author














            Samar-samar terdengar suara melalui pengeras suara. Gadis itu menatap orang yang berlalu di hadapannya. Senyum hambar tersungging di wajahnya. Orang itu berbalik dan melambai ke arahnya. Tangannya terasa berat untuk membalasnya, namun akhirnya ia melambaikan tangannya juga. Pikirannya tiba-tiba melayang pada kisah hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Kisah penuh perjuangan. Kisah yang memberi pengertian tentang cinta yang memberi harapan untuk mengejar mimpi.
                                                                        ***
            Park Yume terduduk lemah menatap jemarinya. Ia sudah begitu lelah, sementara Goo Joonha berdiri sambil berkacak pinggang di hadapannya, dan terus menyuruhnya berlatih.
            Sudah seminggu lebih Yume, seorang gadis keturunan Korea-Jepang, berlatih dengan Joonha, seorang laki-laki yang merupakan kakak kelasnya. Yume berlatih piano bersamanya demi kepentingan ujian praktek nanti. Mereka merupakan murid kelas piano dari sekolah musik ternama di Korea.
            Guru Yume meminta angkatan mereka untuk mencari senior pendamping dalam menghadapi ujian praktek kali ini. Yume begitu tidak menyukai ide gurunya itu. Ia bahkan tak kenal dengan satupun seniornya. Hingga akhirnya Goo Joonha memutuskan untuk memilih orang yang akan dibimbingnya. Dan pilihannya jatuh kepada Yume. Tak ada alasan khusus, ucapnya saat itu.
            Selama dibimbing oleh Joonha, Yume tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengakrabkan diri. Sedikit pun, tidak. Meski banyak teman-temannya yang iri padanya–karena mereka merasa Yume begitu beruntung mendapat Joonha yang begitu populer sebagai pembimbingnya–Yume merasa tak ada yang istimewa. Baginya, semua orang sama, kepopuleran hanyalah sesuatu yang bersifat semu.
            Yume menatap jam tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan ia belum makan malam.
            “Seonbae (Senior), aku lelah. Aku ingin pulang,” ucap Yume dengan suara keras.
            Joonha menoleh ke arahnya. Menatapnya dalam-dalam. “Lelah? Bagaimana jika kau sudah menjadi pianis terkenal? Bukankah itu mimpimu–menjadi seorang pianis terkenal? Baru begini saja sudah bilang lelah.”
            Yume terdiam. Ia tak tahu harus bicara apalagi. Walaupun Yume tidak menyukai orang itu, tetapi terkadang kata-katanya ada benarnya juga. Yume pun menyerah dan kembali berlatih.
                                                                        ***
            “Bagaimana dengan latihanmu?”
            Suara ceria Kim Haesung menyentakkan Yume dari lamunannya.  Sahabatnya itu sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
            “Seperti biasanya. Ia begitu keras padaku. Sepertinya benar apa yang pernah dikatakan Jihyun si nenek sihir itu, bahwa Joonha-seonbae akan menjadi begitu keras jika sudah berhadapan dengan piano,” jawab Yume.
            Song Jihyun merupakan gadis paling populer di kelasnya. Semua orang tahu bahwa ia adalah penggemar Joonha, dan ia begitu iri pada Yume yang mendapatkan Joonha sebagai pembimbingnya. Ia mengusahakan segala cara untuk membuat Yume tidak suka pada laki-laki itu, termasuk mengatakan bahwa Joonha akan menjadi begitu keras jika dihadapkan pada piano. Sebenarnya, tak perlu dipanas-panasi pun Yume juga tak begitu menyukai orang itu.
            Orang yang sedang dipikirkan Yume itupun tiba-tiba melintas di hadapan Yume dan sahabatnya. Ia tersenyum sinis ke arah mereka.
            “Apakah kau sudah menyerah? Ujian tahap pertama akan dilaksanakan besok. Kurasa kau tidak akan lolos,” ucap Jihyun sambil lalu begitu saja.
            Lihat saja nanti, gerutu Yume dalam hati.
                                                                        ***
            Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saat ini semua  murid tingkat 2 sekolah itu berkumpul di ruang teater.
            Giliran Yume naik ke atas panggung. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan itu. Terselip sedikit rasa gugup dalam dirinya, namun ia berusaha untuk menghilangkan rasa gugup itu. Ia meletakkan jemarinya di atas tuts piano, dan jari-jemarinya itu mulai menari, membentuk nada-nada indah.
            Keesokan hari setelah ujian tahap pertama, guru mengumumkan nama-nama yang lulus. Begitu bahagianya Yume saat mengetahui namanya berada di papan pengumuman itu. Kebahagiannya bertambah saat mengetahui orang yang mengatakan dirinya tak akan lulus itu justru tidak lulus. Nama Song Jihyun tak tertera di papan pengumuman itu. Seulas senyum penuh kemenangan tersungging di wajah Yume.
            Kebahagian Yume tak bertahan lama. Saat ia mengabarkan kelulusannya pada ujian tahap pertama itu, Joonha tak memberikan apresiasi sedikitpun. Ia hanya menatap gadis itu datar. Tanpa ekspresi sedikitpun.
            “Ini baru tahap pertama. Jangan terlalu senang dulu. Masih ada dua tahap yang perlu kau lalui,” ucap Joonha pada gadis itu.
            Hari-hari penuh perjuangan keras pun dimulai lagi. Harapan Yume agar Joonha melunak setelah Yume lulus ujian tahap pertama tak terkabul. Joonha justru semakin keras padanya. Tak jarang ia mengucapkan kata-kata yang begitu pedas setiap kali Yume melakukan kesalahan.
            “Bodoh! Lakukan yang benar. Karyamu itu terdengar tidak enak di telinga.”
            Yume mendengus kesal. Ia bangkit dari kursi pianonya dan berdiri menghadap Joonha. Matanya menatap sosok di hadapannya itu dengan berkilat-kilat amarah.
            “Aku lelah. Terus saja kau katakan bahwa diriku ini bodoh. Aku tak ingin latihan denganmu. Biarkan aku sendiri.” Perasaan Yume teriris mendengar ucapan-ucapan menyakitkan laki-laki itu. Ia sungguh tidak tahan lagi. Suaranya begitu menggelegar saat mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Ia memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya.
            Gadis itu menyambar mantel serta tasnya, setelah itu keluar dari rumah orang itu. Berjalan menembus dinginnya malam yang diselimuti salju tebal. Membiarkan dingin yang menusuk itu meredamkan amarahnya.
            Yume membuktikkan kata-katanya. Sejak kejadian malam itu, ia tak pernah lagi datang ke rumah Joonha untuk latihan. Ia berusaha latihan sendiri. Akan tetapi ia tak dapat berlatih dengan maksimal. Ujian tahap kedua mengharuskan para murid untuk memainkan lagu pendek yang diciptakan sendiri. Namun kemampuan Yume dalam menciptakan lagu sangatlah buruk, oleh karena itulah Joonha sering mengatakan dirinya bodoh. Selama ini Joonha cukup membantunya dalam memperbaiki lagunya itu, tetapi pada akhirnya Yume sendiri yang menjauhi orang itu. Bodoh, gerutunya dalam hati. Ia mulai merasa dirinya benar-benar bodoh saat ini.
            Dan Yume merasa lebih bodoh lagi saat hatinya tiba-tiba terasa sepi. Sepi karena sudah lama tak diisi dengan kehadiran Joonha. Namun, Yume memutuskan untuk tak memungkiri hal yang satu itu. Ia berpikir mungkin saja dirinya hanya sedang terbawa suasana karena hampir setiap hari ia bertemu Joonha.
            Ia semakin terlihat bodoh saat ujian tahap kedua dilaksanakan. Dirinya tak lulus. Jihyun yang lulus mengejek dan menertawakan dirinya.
            “Kau terlalu cepat senang rupanya. Lihat itu, namaku tertera di sana. Mana namamu? Tidak ada? Kasihan sekali. Kurasa namamu juga tak akan ada di sana lagi pada tahap berikutnya, dan, yah..., itu berarti kau harus masuk kelas khusus. Sedangkan aku dapat melanjutkan ke tingkat berikutnya,” ucap Jihyun dengan angkuhnya sambil mengacungkan tangan ke arah papan pengumuman. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan Yume dengan langkah gontai. Tak memedulikan gadis itu yang sedang tertunduk sambil menahan tangis.
            Yume pun beranjak dari tempat itu. Ia tak ingin berlama-lama di situ, dengan bodohnya mencari ulang namanya yang jelas-jelas tidak tertera di situ. Tanpa disadari kakinya membawanya ke tangga. Sebersit dorongan buruk timbul dalam hatinya. Ia menaiki tangga itu satu per satu. Dan dirinya kini berada di atap gedung sekolah itu.
            Ia memandang ke bawah. Menatap orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Cukup satu dorongan, dan semua siksaan batinnya akan hilang. Bersamaan dengan dirinya.
                                                                        ***
            Joonha menatap papan pengumuman di hadapannya. Ia tak dapat menemukan nama Park Yume di sana. Gadis itu tidak lulus. Salah sendri, pikirnya.
            Baru saja Joonha akan beranjak dari sana dan pergi ke kelas Yume, ia sudah mendapati gadis itu sedang menaiki tangga. Joonha pun memutuskan untuk mengikuti gadis itu diam-diam. Hingga akhirnya gadis itu membawanya ke atap gedung sekolah itu. Gadis itu berdiri terpatung di tepian. Kepalanya tertunduk melihat ke bawah. Awalnya Joonha masih belum bisa menerka apa yang akan dilakukan gadis itu, sampai ia mengangkat kakinya ke atas pembatas.
            Dengan sigap Joonha berlari ke arah Yume dan mencengkram lengannya kuat-kuat. Lalu ia menarik gadis itu dan membuat mereka saling berhadapan. Yume terperanjat saat mengetahui Joonha memergoki aksinya untuk bunuh diri itu. Matanya terbelalak menatap sosok Joonha. Lengan gadis itu yang sedaritadi dicengkramnya kini bergetar.
            “Apa-apaan tadi?” tanya Joonha. Gadis itu tak menjawab. Ia hanya diam, sibuk dengan pikirannya. Pandangan matanya menerawang.
            “Jangan katakan ini semua karena kegagalanmu.” Joonha menatap gadis itu dengan tatapan menyelidik.
            Yume mengangguk lemah. Membenarkan pernyataan Joonha. Kemudian ia mengangkat suara. “Aku takut sunbaenim akan semakin mengejekku. Hanya mendengar ejekkan Jihyun saja sudah membuat hatiku terkoyak.” Suara Yume begitu lirih. Tak lama kemudian ia mulai terisak.
            “Bodoh. Baru gagal sekali sudah menyerah,” ucap Joonha.
            “Terus saja kau katakan aku bodoh. Aku bodoh! Memang! Bagaimana kau bisa membimbingku dengan baik kalau kau terus begini? Kalau kau bahkan tak menyukaiku!” bentak Yume. Kali ini matanya memandang Joonha dengan tatapan marah. Bahkan ia lupa untuk berbicara dengan bahasa formal. Namun Joonha tak begitu memedulikan keformalan.
            “Aku menyukaimu.” Joonha mengatakannya pelan. Joonha sendiri tak mengerti makna ucapannya sendiri–walau sebenarnya ia tahu maksud kata menyukai yang dikatakan Yume. Ia menyukai Yume secara umum. Akan tetapi dadanya berdesir saat mengatakan kalimat itu. Ia tak tahu sejak kapan, namun sepertinya sekarang dirinya telah menyukai Yume dalam artian khusus. Bukan artian umum yang dimaksudkan oleh Yume.
            Tanpa berpikir panjang ia melepaskan cengkramannya terhadap gadis itu dan mendekapnya dengan erat. Joonha dapat merasakan tubuh gadis itu menegang.
            “Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa arti namamu itu mimpi? Itu artinya orangtuamu berharap kau bisa terus bermimpi dan berusaha untuk mengejar mimpimu itu.” Joonha berbisik tepat di telinga Yume. Joonha pun dapat merasakan tubuh gadis itu tak lagi menegang, dan tangisannya sudah mereda.
                                                                        ***
            Sejak kejadian itu hubungan antara Yume dan Joonha pun membaik. Sikap Joonha sendiri pada Yume melunak. Yume merasa ada sesuatu yang berubah pada diri laki-laki itu. Perubahan yang cukup baik, tapi tak begitu baik juga efeknya bagi jantung Yume.
            Perasaan aneh yang sempat menyelimuti hati Yume, kini justru semakin meledak-ledak sejak hubungannya dan Joonha membaik. Seakan perasaan yang dialaminya itu memang nyata. Padahal sebenarnya Yume setengah mati berharap perasaan itu hanya semu semata.
            Hatinya semakin bergejolak aneh saat latihan malam ini. Yume sedang berlatih, dan tiba-tiba saja ia menyadari Joonha sudah berada di dekatnya. Begitu dekat.
            “Begini yang benar,” ucap Joonha pelan sambil menekan tuts-tuts piano. Tanpa disadari tubuh Yume sekarang berada di antara kedua tangan Joonha yang sedang menekan tuts-tuts piano. Tanpa disadari, nafasnya tercekat. Wajahnya terasa panas dan rasanya wajahnya telah merona merah. Jantungnya sendiri berdegup kencang. Begitu kencang sampai ia takut Joonha dapat mendengarnya.
            “Sudah mengerti?” tanya Joonha kemudian. Yume hanya mengangguk lemah.
            “Kurasa kita harus mengganti format kolaborasi kita dari sebelumnya–kita akan medley lagu bergantian. Bagaimana jika kau menjadi tangan kanan, dan aku tangan kiri? Bisa?” tanya Joonha mengusulkan ide. Kali ini untuk ujian tahap ketiga, setiap peserta diwajibkan untuk berkolaborasi bersama pembimbingnya.
            Yume agak tersentak mendengar usulan Joonha. Kedengarannya cukup sulit untuk bermain piano dengan satu tangan. Tentu saja mereka harus kompak, dan sehati.
            “Ide brilian. Ini baru namanya kolaborasi yang sesungguhnya. Dibutuhkan kekompakkan yang sangat kuat, bukankah begitu?” Yume mengiyakan usulan Joonha. Suaranya terdengar begitu bersemangat. Joonha pun tersenyum sambil mengangguk dan mereka melanjutkan latihan mereka.
                                                                        ***
            Segala cara mereka lalui untuk bisa menjadi satu hati. Dimulai dari percakapan santai–sebelumnya mereka hanya membicarakan hal-hal mengenai latihan piano. Kemudian jalan bersama. Hingga akhirnya mereka lebih mengenal satu sama lainnya. Dan tanpa disadari, perasaan yang selama ini dianggap semu oleh Yume itu terus meneror hati dan pikirannya. Sepertinya ia, Park Yume, telah menyukai Goo Joonha dalam artian khusus.
            Ujian  tahap ketiga–yang merupakan tahap terakhir–pun tiba. Begitu nama Park Yume serta Goo Joonha selaku pembimbing dipanggil untuk naik ke atas panggung, tepuk tangan riuh dari seluruh teman-teman mereka terdengar memenuhi ruang teater itu.
            Dengan yakinnya Joonha menggamit tangan Yume, dan naik ke atas panggung bersama-sama. Mereka duduk di atas kursi piano yang sudah disiapkan. Joonha menatap Yume sambil tersenyum, begitu juga sebaliknya dengan Yume. Sedetik kemudian alunan nada-nada indah mengalun memenuhi ruangan itu. Lagu yang mereka mainkan itu sebenarnya merupakan ciptaan Joonha, yang tanpa diketahui oleh Yume, lagu itu sebenarnya untuk Yume. Live Your Dream, begitulah judulnya.
            Mereka berdua menjalankan ide yang diusulkan oleh Joonha, dan permainan mereka sungguh indah tanpa cela. Saat permainan mereka terhenti, murid serta guru yang menonton hening sejenak kemudian terdengar tepuk tangan meriah. Membuat Yume tersenyum bahagia. Meneteskan air mata terharu. Ia merasa seperti sedang mengadakan konsernya sendiri.
            Keesokan harinya, segenap murid tingkat 2 berbondong-bondong menuju papan pengumuman untuk melihat hasil ujian mereka. Yume juga ikut penasaran untuk mencari tahu keberadaan namanya. Tak perlu diragukan lagi hasil yang dicapai Yume pada ujian terakhirnya. Ia lulus dari ujian tahap terakhir itu, bahkan mencapai nilai tertinggi.
            “Penampilanmu kemarin sungguh hebat. Selamat ya!” seru Haesung pada Yume.
            Yume membungkukkan badan 90˚ ke arah temannya itu. “Gamsahamnida (Terima kasih)!”
            Tak lama kemudian sosok di balik kesuksesan Yume itu muncul di hadapannya. Goo Joonha berdiri memandangi papan pengumuman. Mencermati isinya dari atas ke bawah. Yume melongokkan kepalanya berusaha mencari tahu bagaimana raut wajah Joonha. Laki-laki itu pun kemudian memandang ke arahnya dan seulas senyum tersungging di bibirnya.
            “Selamat ya. Kau sungguh hebat mendapat nilai tertinggi.” Joonha mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan Yume.
            “Bukan aku, tapi seonbae,” ucap Yume sambil membalas jabatan tangan Joonha. Saat Yume hendak menarik kembali tangannya, Joonha masih menahan tangan Yume dalam jabatannya. Yume mengerjap menatap Joonha. Joonha hanya tersenyum lagi.
            “Terima kasih banyak,” ucap Yume memecahkan keheningan yang sempat terjadi di antara mereka berdua. Joonha pun mengangguk.
            Dalam keadaan tangan yang masih saling berjabatan, tiba-tiba saja Joonha menarik Yume. Yume agak terkejut. Ternyata Joonha menariknya menuju ruang teater.
            Di dalam ruangan dengan kapasitas tempat duduk 1000 orang itu, tak satupun tempat duduk yang diduduki. Ruangan itu kosong. Di atas panggung nampak sebuah grand piano berwarna putih yang selama ini dipakai untuk ujian maupun pertunjukkan sekolah mereka. Joonha membawa Yume ke atas panggung, masih tetap menggenggam tangan gadis itu. Begitu mereka menjejakkan kaki mereka di atas panggung, Joonha melepaskan genggaman tangannya terhadap Yume dan duduk di bangku piano yang tersedia. Ia membuka tutup piano itu, setelah itu meminta Yume duduk di sebelahnya. Yume pun menurutinya.
            “Kurasa aku akan merindukan hal-hal yang pernah terjadi di antara kita. Pertengkaran kita, canda dan tawa kita, serta tangisanmu itu,” ucap Joonha tiba-tiba. Pandangannya menerawang, kemudian ia melanjutkan kata-katanya. “Aku tiba-tiba saja berpikir, kalau aku tidak melihatmu saat itu, aku mungkin tidak akan melihatmu lagi saat ini. Kalau kau menyerah begitu saja, namamu tak mungkin tercetak dengan huruf tebal pada papan pengumuman.”
            “Ya... Terima kasih karena telah mengajarkanku untuk tidak menyerah begitu saja. Tetapi sebenarnya apa yang ingin seonbae katakan?”
            Joonha menengok ke arah Yume dan menatap mata Yume lurus-lurus. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. “Perjuanganku di sekolah ini sudah berakhir, bahkan sebelum aku menjadi pembimbingmu. Waktuku di sini tidak lama lagi. Dan kini, aku hanya ingin kau menemani saat-saat terakhirku di sini.”
            “Maksud seonbae?” tanya Yume dengan suara serak. Ia tak ingin berpikir negatif dahulu. Ia butuh kepastian.
            “Minggu depan acara kelulusan. Aku sendiri sudah mengurus semua keperluanku untuk kuliah nanti. 3 hari setelah itu, aku akan...,” jeda sebentar untuk menarik napas, kemudian Joonha melanjutkan, “pergi ke New York untuk berkuliah.”
            Pikiran negatif Yume telah terbukti benar. Kini ia menatap Joonha dengan mata berkaca-kaca. Suaranya tiba-tiba saja menghilang. Nafasnya tercekat. Padahal Yume berpikir mereka baru saja akan memulai awal yang baru, tetapi ia salah. Semuanya akan berakhir secepatnya.
            “Oleh karena itu aku ingin kau menemaniku, di masa-masa akhir sekolahku. Mungkin kau tak lagi membutuhkan kehadiranku, tetapi kini, akulah yang membutuhkan kehadiranmu di sisiku,” ucap Joonha dengan tenang. Kemudian pandangannya teralih kepada tuts-tuts piano. Kesepuluh jarinya mulai menari di atas piano, membentuk nada-nada indah yang menenangkan hati Yume.
            Saat ini Yume tak ingin banyak berharap dulu. Biarkanlah waktu yang membuktikan segalanya.
                                                                        ***
            Bandara Incheon dipenuhi oleh orang yang berlalu-lalang hendak meninggalkan kota Incheon maupun meninggalkan Korea Selatan. Yume menatap Joonha dari kejauhan. Laki-laki itu termasuk satu dari sekian banyak orang yang hendak meninggalkan negara itu. Yume pun berlari-lari kecil menghampiri Joonha.
            “Kukira kau tidak akan datang,” ucap Joonha saat ia melihat Yume.
            “Tentu saja tidak. Bukankah sudah kubilang aku akan menemani saat-saat terakhirmu di sini?”
            Joonha hanya membalas dengan senyuman.
            “Oh ya, lagu yang kubuatkan untuk ujianmu yang terakhir itu, jangan dibuang. Itu lagu yang kuciptakan untukmu. Maksudku, saat membuatnya, aku memikirkanmu,” kata Joonha.
            “Benarkah?” tanya Yume bersemangat. Joonha mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, seonbae.”
            “Sebenarnya, ada yang ingin aku katakan.” Joonha kemudian mengangkat suara mengalihkan topik. Matanya menatap jauh ke dalam mata Yume. Yume pun membalas dengan tatapan penuh tanya. Sedetik kemudian Yume sudah berada di dalam pelukan hangat Joonha.
            “Saranghaeyo (Aku mencintaimu)... Jeongmal (Sungguh)...” Joonha berbisik pelan. Namun cukup terdengar di telinga Yume. Yume bahkan tak dapat memercayai pendengarannya sendiri. Jantungnya berdebar lebih cepat, lebih keras. Ia yakin wajahnya kini telah merona merah. Sesungguhnya, waktu telah membuktikan segalanya.
            “Aku memang bodoh dalam memilih waktu. Ini sudah jelas bukan waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan. Aku tahu kau pasti terkejut. Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Perasaanku tak akan pudar termakan waktu. 3 tahun lagi, saat aku kembali ke sini, barulah kau boleh menjawabnya. Mengerti?”
            Yume mengangguk pelan. Kemudian Joonha merenggangkan pelukannya tetapi tetap memegang kedua bahu Yume.
            “Saat ini, aku hanya butuh satu hal untuk kudengar.”
            “Apa?” tanya Yume.
            Joonha tersenyum. “Panggil aku ‘oppa’ (kakak).”
            Yume balas tersenyum riang. “Oppa...oppa...oppa...,” ucap Yume sambil terkekeh. Lalu keduanya tertawa.
            Samar-samar terdengar suara dari pengeras suara. Membuat tawa mereka terhenti. Semua penumpang pesawat menuju New York diharapkan telah berada di ruang tunggu. Yume pun menatap Joonha nanar.
            “Oppa...,” ucap Yume lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Joonha hanya tersenyum pasrah.
            “Jangan menangis. Aku akan segera kembali. Jangan menyerah untuk meraih mimpimu. Suatu hari nanti, aku akan melihatmu berdiri di atas panggung sebenarnya diiringi dengan tepuk tangan meriah penonton. Percayalah. Asal kau tidak menyerah dan terus berusaha. Live your dream.”
            Yume mengangguk. Joonha menghapus air mata di sudut mata Yume. Dan ia menarik Yume mendekat, lalu mengecup kening Yume. Setelah itu ia memeluk Yume sebentar.
            “Aku akan kembali. Tunggulah aku karena kau belum mengatakan perasaanmu padaku.”
            “Aku akan menunggumu. Fighting!
            “Fighting!” ujar Joonha dengan bersemangat.
            “Sampai jumpa nanti,” seru Yume.
            “Sampai jumpa nanti. Saranghaeyo!”
            Joonha pun berbalik badan dan berjalan menjauhi Yume. Punggung laki-laki itu perlahan menjauh. Joonha membalikkan badan untuk melambaikan tangan pada Yume. Tangannya terasa berat untuk diangkat, namun pada akhirnya ia mengangkat tangannya juga. Membalas lambaian tangan Joonha. Samar-samar terlihat Joonha tersenyum lebar. Yume hanya bisa tersenyum hambar. Kemudian Joonha berbalik lagi, dan terus berjalan, tak pernah berbalik lagi ke arah Yume. Mata Yume menatap sosok Joonha yang mulai menghilang di antara orang-orang. Kesedihan begitu mendalam terpancar dengan jelas dalam matanya. Akan tetapi ia tahu, ia tak boleh terus menerus sedih, ia akan menunggu Joonha dengan semangat, dan akan mengejar cita-citanya. Juga akan mengakui perasaannya terhadap Joonha saat laki-laki itu kembali.





©SefriskaMaria 01.03.12
            
a/n: Lama tidak membuat postingan baru di sini kkk~ kali ini comeback dengan cerpen dengan setting Korea Selatan. Cerpen ini sendiri sebenarnya cerpen kedua yang pernah aku buat. Idenya udah ada dari jaman kelas 9 sih, tapi baru ketuang sekarang ini. Bener-bener masih merasa buruk dalam membuat cerpen. Plot-nya terlalu berkesan "ngejer" banget, soalnya sebenarnya ide cerita ini awalnya aku mau buat serial story atau novel sekalian, tapi mumpung kemarin ada tugas bahasa Indonesia disuruh buat cerpen--mana lagi buntu ide--sekalian aja pake ide yang ini. Makanya plotnya jadi ngejer begini. Judul cerpen ini sendiri bener-bener aneh buat aku. Gak jelas, bahasa nyampur-nyampur antara Korea sama Jepang. Soalnya mau bikin judul sesuai apa yang aku pikirin selama ini, jatoh-jatohnya ga masuk sama cerpennya. Kalau ceritanya dipanjangin lagi sesuai dengan ideku selama ini, pasti judulnya masuk. -_- Mohon dimaklumi deh ya, penulis amatiran. Ditunggu comment-nya :) - SefriskaMaria

No comments:

Post a Comment