Title : Yume no "Seonbae"
Categories: Short Story
2978 Words (10 pages MsWord, TNR12pt, space 1,5)
Genre: Romance
Rating: G
Author: Sefriska Talitakum Maria
Also Published On: Wattpad
Cover by: Author
Samar-samar terdengar suara melalui pengeras suara. Gadis itu menatap orang yang berlalu di hadapannya. Senyum hambar tersungging di wajahnya. Orang itu berbalik dan melambai ke arahnya. Tangannya terasa berat untuk membalasnya, namun akhirnya ia melambaikan tangannya juga. Pikirannya tiba-tiba melayang pada kisah hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Kisah penuh perjuangan. Kisah yang memberi pengertian tentang cinta yang memberi harapan untuk mengejar mimpi.
Categories: Short Story
2978 Words (10 pages MsWord, TNR12pt, space 1,5)
Genre: Romance
Rating: G
Author: Sefriska Talitakum Maria
Also Published On: Wattpad
Cover by: Author
Samar-samar terdengar suara melalui pengeras suara. Gadis itu menatap orang yang berlalu di hadapannya. Senyum hambar tersungging di wajahnya. Orang itu berbalik dan melambai ke arahnya. Tangannya terasa berat untuk membalasnya, namun akhirnya ia melambaikan tangannya juga. Pikirannya tiba-tiba melayang pada kisah hidupnya selama beberapa bulan terakhir. Kisah penuh perjuangan. Kisah yang memberi pengertian tentang cinta yang memberi harapan untuk mengejar mimpi.
***
Park Yume terduduk lemah menatap
jemarinya. Ia sudah begitu lelah, sementara Goo Joonha berdiri sambil berkacak
pinggang di hadapannya, dan terus menyuruhnya berlatih.
Sudah seminggu lebih Yume, seorang
gadis keturunan Korea-Jepang, berlatih dengan Joonha, seorang laki-laki yang
merupakan kakak kelasnya. Yume berlatih piano bersamanya demi kepentingan ujian
praktek nanti. Mereka merupakan murid kelas piano dari sekolah musik ternama di
Korea.
Guru Yume meminta angkatan mereka
untuk mencari senior pendamping dalam menghadapi ujian praktek kali ini. Yume
begitu tidak menyukai ide gurunya itu. Ia bahkan tak kenal dengan satupun
seniornya. Hingga akhirnya Goo Joonha memutuskan untuk memilih orang yang akan
dibimbingnya. Dan pilihannya jatuh kepada Yume. Tak ada alasan khusus, ucapnya saat itu.
Selama dibimbing oleh Joonha, Yume
tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mengakrabkan diri. Sedikit pun, tidak.
Meski banyak teman-temannya yang iri padanya–karena mereka merasa Yume begitu
beruntung mendapat Joonha yang begitu populer sebagai pembimbingnya–Yume merasa
tak ada yang istimewa. Baginya, semua orang sama, kepopuleran hanyalah sesuatu
yang bersifat semu.
Yume menatap jam tangannya. Jam sudah
menunjukkan pukul 8 malam, dan ia belum makan malam.
“Seonbae (Senior), aku lelah. Aku
ingin pulang,” ucap Yume dengan suara keras.
Joonha menoleh ke arahnya.
Menatapnya dalam-dalam. “Lelah? Bagaimana jika kau sudah menjadi pianis
terkenal? Bukankah itu mimpimu–menjadi seorang pianis terkenal? Baru begini
saja sudah bilang lelah.”
Yume terdiam. Ia tak tahu harus
bicara apalagi. Walaupun Yume tidak menyukai orang itu, tetapi terkadang
kata-katanya ada benarnya juga. Yume pun menyerah dan kembali berlatih.
***
“Bagaimana dengan latihanmu?”
Suara ceria Kim Haesung menyentakkan
Yume dari lamunannya. Sahabatnya itu
sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
“Seperti biasanya. Ia begitu keras
padaku. Sepertinya benar apa yang pernah dikatakan Jihyun si nenek sihir itu,
bahwa Joonha-seonbae akan menjadi begitu keras jika sudah berhadapan dengan
piano,” jawab Yume.
Song Jihyun merupakan gadis paling
populer di kelasnya. Semua orang tahu bahwa ia adalah penggemar Joonha, dan ia
begitu iri pada Yume yang mendapatkan Joonha sebagai pembimbingnya. Ia
mengusahakan segala cara untuk membuat Yume tidak suka pada laki-laki itu,
termasuk mengatakan bahwa Joonha akan menjadi begitu keras jika dihadapkan pada
piano. Sebenarnya, tak perlu dipanas-panasi pun Yume juga tak begitu menyukai
orang itu.
Orang yang sedang dipikirkan Yume itupun
tiba-tiba melintas di hadapan Yume dan sahabatnya. Ia tersenyum sinis ke arah
mereka.
“Apakah kau sudah menyerah? Ujian
tahap pertama akan dilaksanakan besok. Kurasa kau tidak akan lolos,” ucap
Jihyun sambil lalu begitu saja.
Lihat
saja nanti, gerutu Yume dalam hati.
***
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Saat ini semua murid tingkat 2 sekolah
itu berkumpul di ruang teater.
Giliran Yume naik ke atas panggung.
Ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan itu. Terselip sedikit rasa gugup
dalam dirinya, namun ia berusaha untuk menghilangkan rasa gugup itu. Ia
meletakkan jemarinya di atas tuts piano, dan jari-jemarinya itu mulai menari,
membentuk nada-nada indah.
Keesokan hari setelah ujian tahap
pertama, guru mengumumkan nama-nama yang lulus. Begitu bahagianya Yume saat
mengetahui namanya berada di papan pengumuman itu. Kebahagiannya bertambah saat
mengetahui orang yang mengatakan dirinya tak akan lulus itu justru tidak lulus.
Nama Song Jihyun tak tertera di papan pengumuman itu. Seulas senyum penuh
kemenangan tersungging di wajah Yume.
Kebahagian Yume tak bertahan lama.
Saat ia mengabarkan kelulusannya pada ujian tahap pertama itu, Joonha tak
memberikan apresiasi sedikitpun. Ia hanya menatap gadis itu datar. Tanpa
ekspresi sedikitpun.
“Ini baru tahap pertama. Jangan
terlalu senang dulu. Masih ada dua tahap yang perlu kau lalui,” ucap Joonha
pada gadis itu.
Hari-hari
penuh perjuangan keras pun dimulai lagi. Harapan Yume agar Joonha melunak
setelah Yume lulus ujian tahap pertama tak terkabul. Joonha justru semakin
keras padanya. Tak jarang ia mengucapkan kata-kata yang begitu pedas setiap
kali Yume melakukan kesalahan.
“Bodoh! Lakukan yang benar. Karyamu
itu terdengar tidak enak di telinga.”
Yume mendengus kesal. Ia bangkit
dari kursi pianonya dan berdiri menghadap Joonha. Matanya menatap sosok di
hadapannya itu dengan berkilat-kilat amarah.
“Aku lelah. Terus saja kau katakan
bahwa diriku ini bodoh. Aku tak ingin latihan denganmu. Biarkan aku sendiri.”
Perasaan Yume teriris mendengar ucapan-ucapan menyakitkan laki-laki itu. Ia
sungguh tidak tahan lagi. Suaranya begitu menggelegar saat mengucapkan
kalimat-kalimat tersebut. Ia memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya.
Gadis itu menyambar mantel serta
tasnya, setelah itu keluar dari rumah orang itu. Berjalan menembus dinginnya
malam yang diselimuti salju tebal. Membiarkan dingin yang menusuk itu
meredamkan amarahnya.
Yume membuktikkan kata-katanya.
Sejak kejadian malam itu, ia tak pernah lagi datang ke rumah Joonha untuk
latihan. Ia berusaha latihan sendiri. Akan tetapi ia tak dapat berlatih dengan
maksimal. Ujian tahap kedua mengharuskan para murid untuk memainkan lagu pendek
yang diciptakan sendiri. Namun kemampuan Yume dalam menciptakan lagu sangatlah
buruk, oleh karena itulah Joonha sering mengatakan dirinya bodoh. Selama ini
Joonha cukup membantunya dalam memperbaiki lagunya itu, tetapi pada akhirnya
Yume sendiri yang menjauhi orang itu. Bodoh,
gerutunya dalam hati. Ia mulai merasa dirinya benar-benar bodoh saat ini.
Dan Yume merasa lebih bodoh lagi
saat hatinya tiba-tiba terasa sepi. Sepi karena sudah lama tak diisi dengan
kehadiran Joonha. Namun, Yume memutuskan untuk tak memungkiri hal yang satu
itu. Ia berpikir mungkin saja dirinya hanya sedang terbawa suasana karena
hampir setiap hari ia bertemu Joonha.
Ia semakin terlihat bodoh saat ujian
tahap kedua dilaksanakan. Dirinya tak lulus. Jihyun yang lulus mengejek dan
menertawakan dirinya.
“Kau terlalu cepat senang rupanya.
Lihat itu, namaku tertera di sana. Mana namamu? Tidak ada? Kasihan sekali.
Kurasa namamu juga tak akan ada di sana lagi pada tahap berikutnya, dan,
yah..., itu berarti kau harus masuk kelas khusus. Sedangkan aku dapat melanjutkan
ke tingkat berikutnya,” ucap Jihyun dengan angkuhnya sambil mengacungkan tangan
ke arah papan pengumuman. Setelah itu, ia berjalan meninggalkan Yume dengan
langkah gontai. Tak memedulikan gadis itu yang sedang tertunduk sambil menahan
tangis.
Yume pun beranjak dari tempat itu.
Ia tak ingin berlama-lama di situ, dengan bodohnya mencari ulang namanya yang
jelas-jelas tidak tertera di situ. Tanpa disadari kakinya membawanya ke tangga.
Sebersit dorongan buruk timbul dalam hatinya. Ia menaiki tangga itu satu per
satu. Dan dirinya kini berada di atap gedung sekolah itu.
Ia memandang ke bawah. Menatap
orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Cukup satu dorongan, dan semua
siksaan batinnya akan hilang. Bersamaan dengan dirinya.
***
Joonha menatap papan pengumuman di
hadapannya. Ia tak dapat menemukan nama Park Yume di sana. Gadis itu tidak
lulus. Salah sendri, pikirnya.
Baru saja Joonha akan beranjak dari
sana dan pergi ke kelas Yume, ia sudah mendapati gadis itu sedang menaiki
tangga. Joonha pun memutuskan untuk mengikuti gadis itu diam-diam. Hingga
akhirnya gadis itu membawanya ke atap gedung sekolah itu. Gadis itu berdiri
terpatung di tepian. Kepalanya tertunduk melihat ke bawah. Awalnya Joonha masih
belum bisa menerka apa yang akan dilakukan gadis itu, sampai ia mengangkat
kakinya ke atas pembatas.
Dengan sigap Joonha berlari ke arah
Yume dan mencengkram lengannya kuat-kuat. Lalu ia menarik gadis itu dan membuat
mereka saling berhadapan. Yume terperanjat saat mengetahui Joonha memergoki
aksinya untuk bunuh diri itu. Matanya terbelalak menatap sosok Joonha. Lengan
gadis itu yang sedaritadi dicengkramnya kini bergetar.
“Apa-apaan tadi?” tanya Joonha.
Gadis itu tak menjawab. Ia hanya diam, sibuk dengan pikirannya. Pandangan
matanya menerawang.
“Jangan katakan ini semua karena
kegagalanmu.” Joonha menatap gadis itu dengan tatapan menyelidik.
Yume mengangguk lemah. Membenarkan
pernyataan Joonha. Kemudian ia mengangkat suara. “Aku takut sunbaenim akan
semakin mengejekku. Hanya mendengar ejekkan Jihyun saja sudah membuat hatiku
terkoyak.” Suara Yume begitu lirih. Tak lama kemudian ia mulai terisak.
“Bodoh. Baru gagal sekali sudah
menyerah,” ucap Joonha.
“Terus saja kau katakan aku bodoh.
Aku bodoh! Memang! Bagaimana kau bisa membimbingku dengan baik kalau kau terus
begini? Kalau kau bahkan tak menyukaiku!” bentak Yume. Kali ini matanya
memandang Joonha dengan tatapan marah. Bahkan ia lupa untuk berbicara dengan
bahasa formal. Namun Joonha tak begitu memedulikan keformalan.
“Aku menyukaimu.” Joonha
mengatakannya pelan. Joonha sendiri tak mengerti makna ucapannya sendiri–walau sebenarnya
ia tahu maksud kata menyukai yang dikatakan Yume. Ia menyukai Yume secara umum.
Akan tetapi dadanya berdesir saat mengatakan kalimat itu. Ia tak tahu sejak
kapan, namun sepertinya sekarang dirinya telah menyukai Yume dalam artian
khusus. Bukan artian umum yang dimaksudkan oleh Yume.
Tanpa berpikir panjang ia melepaskan
cengkramannya terhadap gadis itu dan mendekapnya dengan erat. Joonha dapat
merasakan tubuh gadis itu menegang.
“Bukankah kau sendiri yang
mengatakan bahwa arti namamu itu mimpi? Itu artinya orangtuamu berharap kau
bisa terus bermimpi dan berusaha untuk mengejar mimpimu itu.” Joonha berbisik
tepat di telinga Yume. Joonha pun dapat merasakan tubuh gadis itu tak lagi
menegang, dan tangisannya sudah mereda.
***
Sejak kejadian itu hubungan antara
Yume dan Joonha pun membaik. Sikap Joonha sendiri pada Yume melunak. Yume
merasa ada sesuatu yang berubah pada diri laki-laki itu. Perubahan yang cukup baik,
tapi tak begitu baik juga efeknya bagi jantung Yume.
Perasaan aneh yang sempat
menyelimuti hati Yume, kini justru semakin meledak-ledak sejak hubungannya dan
Joonha membaik. Seakan perasaan yang dialaminya itu memang nyata. Padahal
sebenarnya Yume setengah mati berharap perasaan itu hanya semu semata.
Hatinya semakin bergejolak aneh saat
latihan malam ini. Yume sedang berlatih, dan tiba-tiba saja ia menyadari Joonha
sudah berada di dekatnya. Begitu dekat.
“Begini yang benar,” ucap Joonha
pelan sambil menekan tuts-tuts piano. Tanpa disadari tubuh Yume sekarang berada
di antara kedua tangan Joonha yang sedang menekan tuts-tuts piano. Tanpa
disadari, nafasnya tercekat. Wajahnya terasa panas dan rasanya wajahnya telah
merona merah. Jantungnya sendiri berdegup kencang. Begitu kencang sampai ia
takut Joonha dapat mendengarnya.
“Sudah mengerti?” tanya Joonha
kemudian. Yume hanya mengangguk lemah.
“Kurasa kita harus mengganti format
kolaborasi kita dari sebelumnya–kita akan medley
lagu bergantian. Bagaimana jika kau menjadi tangan kanan, dan aku tangan kiri?
Bisa?” tanya Joonha mengusulkan ide. Kali ini untuk ujian tahap ketiga, setiap
peserta diwajibkan untuk berkolaborasi bersama pembimbingnya.
Yume agak tersentak mendengar usulan
Joonha. Kedengarannya cukup sulit untuk bermain piano dengan satu tangan. Tentu
saja mereka harus kompak, dan sehati.
“Ide brilian. Ini baru namanya
kolaborasi yang sesungguhnya. Dibutuhkan kekompakkan yang sangat kuat, bukankah
begitu?” Yume mengiyakan usulan Joonha. Suaranya terdengar begitu bersemangat.
Joonha pun tersenyum sambil mengangguk dan mereka melanjutkan latihan mereka.
***
Segala cara mereka lalui untuk bisa
menjadi satu hati. Dimulai dari percakapan santai–sebelumnya mereka hanya
membicarakan hal-hal mengenai latihan piano. Kemudian jalan bersama. Hingga
akhirnya mereka lebih mengenal satu sama lainnya. Dan tanpa disadari, perasaan
yang selama ini dianggap semu oleh Yume itu terus meneror hati dan pikirannya.
Sepertinya ia, Park Yume, telah menyukai Goo Joonha dalam artian khusus.
Ujian tahap ketiga–yang merupakan tahap
terakhir–pun tiba. Begitu nama Park Yume serta Goo Joonha selaku pembimbing
dipanggil untuk naik ke atas panggung, tepuk tangan riuh dari seluruh
teman-teman mereka terdengar memenuhi ruang teater itu.
Dengan yakinnya Joonha menggamit
tangan Yume, dan naik ke atas panggung bersama-sama. Mereka duduk di atas kursi
piano yang sudah disiapkan. Joonha menatap Yume sambil tersenyum, begitu juga
sebaliknya dengan Yume. Sedetik kemudian alunan nada-nada indah mengalun
memenuhi ruangan itu. Lagu yang mereka mainkan itu sebenarnya merupakan ciptaan
Joonha, yang tanpa diketahui oleh Yume, lagu itu sebenarnya untuk Yume. Live Your Dream, begitulah judulnya.
Mereka berdua menjalankan ide yang
diusulkan oleh Joonha, dan permainan mereka sungguh indah tanpa cela. Saat
permainan mereka terhenti, murid serta guru yang menonton hening sejenak
kemudian terdengar tepuk tangan meriah. Membuat Yume tersenyum bahagia.
Meneteskan air mata terharu. Ia merasa seperti sedang mengadakan konsernya
sendiri.
Keesokan harinya, segenap murid
tingkat 2 berbondong-bondong menuju papan pengumuman untuk melihat hasil ujian
mereka. Yume juga ikut penasaran untuk mencari tahu keberadaan namanya. Tak
perlu diragukan lagi hasil yang dicapai Yume pada ujian terakhirnya. Ia lulus
dari ujian tahap terakhir itu, bahkan mencapai nilai tertinggi.
“Penampilanmu kemarin sungguh hebat.
Selamat ya!” seru Haesung pada Yume.
Yume membungkukkan badan 90˚ ke arah
temannya itu. “Gamsahamnida (Terima kasih)!”
Tak lama kemudian sosok di balik
kesuksesan Yume itu muncul di hadapannya. Goo Joonha berdiri memandangi papan
pengumuman. Mencermati isinya dari atas ke bawah. Yume melongokkan kepalanya
berusaha mencari tahu bagaimana raut wajah Joonha. Laki-laki itu pun kemudian
memandang ke arahnya dan seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Selamat ya. Kau sungguh hebat
mendapat nilai tertinggi.” Joonha mengulurkan tangannya hendak menjabat tangan
Yume.
“Bukan aku, tapi seonbae,” ucap
Yume sambil membalas jabatan tangan Joonha. Saat Yume hendak menarik kembali
tangannya, Joonha masih menahan tangan Yume dalam jabatannya. Yume mengerjap
menatap Joonha. Joonha hanya tersenyum lagi.
“Terima kasih banyak,” ucap Yume
memecahkan keheningan yang sempat terjadi di antara mereka berdua. Joonha pun
mengangguk.
Dalam keadaan tangan yang masih
saling berjabatan, tiba-tiba saja Joonha menarik Yume. Yume agak terkejut.
Ternyata Joonha menariknya menuju ruang teater.
Di dalam ruangan dengan kapasitas
tempat duduk 1000 orang itu, tak satupun tempat duduk yang diduduki. Ruangan
itu kosong. Di atas panggung nampak sebuah grand piano berwarna putih yang
selama ini dipakai untuk ujian maupun pertunjukkan sekolah mereka. Joonha membawa Yume ke atas panggung, masih
tetap menggenggam tangan gadis itu. Begitu mereka menjejakkan kaki mereka di
atas panggung, Joonha melepaskan genggaman tangannya terhadap Yume dan duduk di
bangku piano yang tersedia. Ia membuka tutup piano itu, setelah itu meminta
Yume duduk di sebelahnya. Yume pun menurutinya.
“Kurasa aku akan merindukan hal-hal
yang pernah terjadi di antara kita. Pertengkaran kita, canda dan tawa kita,
serta tangisanmu itu,” ucap Joonha tiba-tiba. Pandangannya menerawang, kemudian
ia melanjutkan kata-katanya. “Aku tiba-tiba saja berpikir, kalau aku tidak
melihatmu saat itu, aku mungkin tidak akan melihatmu lagi saat ini. Kalau kau
menyerah begitu saja, namamu tak mungkin tercetak dengan huruf tebal pada papan
pengumuman.”
“Ya... Terima kasih karena telah mengajarkanku
untuk tidak menyerah begitu saja. Tetapi sebenarnya apa yang ingin seonbae katakan?”
Joonha menengok ke arah Yume dan
menatap mata Yume lurus-lurus. Ia menarik napas panjang kemudian
mengembuskannya perlahan. “Perjuanganku di sekolah ini sudah berakhir, bahkan
sebelum aku menjadi pembimbingmu. Waktuku di sini tidak lama lagi. Dan kini,
aku hanya ingin kau menemani saat-saat terakhirku di sini.”
“Maksud seonbae?” tanya Yume
dengan suara serak. Ia tak ingin berpikir negatif dahulu. Ia butuh kepastian.
“Minggu depan acara kelulusan. Aku
sendiri sudah mengurus semua keperluanku untuk kuliah nanti. 3 hari setelah
itu, aku akan...,” jeda sebentar untuk menarik napas, kemudian Joonha
melanjutkan, “pergi ke New York untuk berkuliah.”
Pikiran negatif Yume telah terbukti
benar. Kini ia menatap Joonha dengan mata berkaca-kaca. Suaranya tiba-tiba saja
menghilang. Nafasnya tercekat. Padahal Yume berpikir mereka baru saja akan
memulai awal yang baru, tetapi ia salah. Semuanya akan berakhir secepatnya.
“Oleh karena itu aku ingin kau
menemaniku, di masa-masa akhir sekolahku. Mungkin kau tak lagi membutuhkan
kehadiranku, tetapi kini, akulah yang membutuhkan kehadiranmu di sisiku,” ucap
Joonha dengan tenang. Kemudian pandangannya teralih kepada tuts-tuts piano.
Kesepuluh jarinya mulai menari di atas piano, membentuk nada-nada indah yang
menenangkan hati Yume.
Saat ini Yume tak ingin banyak
berharap dulu. Biarkanlah waktu yang membuktikan segalanya.
***
Bandara
Incheon dipenuhi oleh orang yang berlalu-lalang hendak meninggalkan kota
Incheon maupun meninggalkan Korea Selatan. Yume menatap Joonha dari kejauhan.
Laki-laki itu termasuk satu dari sekian banyak orang yang hendak meninggalkan
negara itu. Yume pun berlari-lari kecil menghampiri Joonha.
“Kukira kau tidak akan datang,” ucap
Joonha saat ia melihat Yume.
“Tentu saja tidak. Bukankah sudah
kubilang aku akan menemani saat-saat terakhirmu di sini?”
Joonha hanya membalas dengan
senyuman.
“Oh ya, lagu yang kubuatkan untuk
ujianmu yang terakhir itu, jangan dibuang. Itu lagu yang kuciptakan untukmu.
Maksudku, saat membuatnya, aku memikirkanmu,” kata Joonha.
“Benarkah?” tanya Yume bersemangat.
Joonha mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, seonbae.”
“Sebenarnya, ada yang ingin aku
katakan.” Joonha kemudian mengangkat suara mengalihkan topik. Matanya menatap
jauh ke dalam mata Yume. Yume pun membalas dengan tatapan penuh tanya. Sedetik
kemudian Yume sudah berada di dalam pelukan hangat Joonha.
“Saranghaeyo (Aku mencintaimu)...
Jeongmal (Sungguh)...” Joonha berbisik pelan. Namun cukup terdengar di telinga
Yume. Yume bahkan tak dapat memercayai pendengarannya sendiri. Jantungnya
berdebar lebih cepat, lebih keras. Ia yakin wajahnya kini telah merona merah.
Sesungguhnya, waktu telah membuktikan segalanya.
“Aku memang bodoh dalam memilih
waktu. Ini sudah jelas bukan waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan. Aku
tahu kau pasti terkejut. Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Perasaanku tak
akan pudar termakan waktu. 3 tahun lagi, saat aku kembali ke sini, barulah kau
boleh menjawabnya. Mengerti?”
Yume mengangguk pelan. Kemudian
Joonha merenggangkan pelukannya tetapi tetap memegang kedua bahu Yume.
“Saat ini, aku hanya butuh satu hal
untuk kudengar.”
“Apa?” tanya Yume.
Joonha tersenyum. “Panggil aku
‘oppa’ (kakak).”
Yume balas tersenyum riang.
“Oppa...oppa...oppa...,” ucap Yume sambil terkekeh. Lalu keduanya tertawa.
Samar-samar terdengar suara dari
pengeras suara. Membuat tawa mereka terhenti. Semua penumpang pesawat menuju
New York diharapkan telah berada di ruang tunggu. Yume pun menatap Joonha
nanar.
“Oppa...,” ucap Yume lirih. Matanya
mulai berkaca-kaca. Joonha hanya tersenyum pasrah.
“Jangan menangis. Aku akan segera
kembali. Jangan menyerah untuk meraih mimpimu. Suatu hari nanti, aku akan
melihatmu berdiri di atas panggung sebenarnya diiringi dengan tepuk tangan
meriah penonton. Percayalah. Asal kau tidak menyerah dan terus berusaha. Live your dream.”
Yume mengangguk. Joonha menghapus
air mata di sudut mata Yume. Dan ia menarik Yume mendekat, lalu mengecup kening
Yume. Setelah itu ia memeluk Yume sebentar.
“Aku akan kembali. Tunggulah aku
karena kau belum mengatakan perasaanmu padaku.”
“Aku akan menunggumu. Fighting!”
“Fighting!”
ujar Joonha dengan bersemangat.
“Sampai jumpa nanti,” seru Yume.
“Sampai jumpa nanti. Saranghaeyo!”
Joonha pun berbalik badan dan
berjalan menjauhi Yume. Punggung laki-laki itu perlahan menjauh. Joonha membalikkan
badan untuk melambaikan tangan pada Yume. Tangannya terasa berat untuk
diangkat, namun pada akhirnya ia mengangkat tangannya juga. Membalas lambaian
tangan Joonha. Samar-samar terlihat Joonha tersenyum lebar. Yume hanya bisa
tersenyum hambar. Kemudian Joonha berbalik lagi, dan terus berjalan, tak pernah
berbalik lagi ke arah Yume. Mata Yume menatap sosok Joonha yang mulai
menghilang di antara orang-orang. Kesedihan begitu mendalam terpancar dengan
jelas dalam matanya. Akan tetapi ia tahu, ia tak boleh terus menerus sedih, ia
akan menunggu Joonha dengan semangat, dan akan mengejar cita-citanya. Juga akan
mengakui perasaannya terhadap Joonha saat laki-laki itu kembali.
©SefriskaMaria
01.03.12
a/n: Lama tidak membuat postingan baru di sini kkk~ kali ini comeback dengan cerpen dengan setting Korea Selatan. Cerpen ini sendiri sebenarnya cerpen kedua yang pernah aku buat. Idenya udah ada dari jaman kelas 9 sih, tapi baru ketuang sekarang ini. Bener-bener masih merasa buruk dalam membuat cerpen. Plot-nya terlalu berkesan "ngejer" banget, soalnya sebenarnya ide cerita ini awalnya aku mau buat serial story atau novel sekalian, tapi mumpung kemarin ada tugas bahasa Indonesia disuruh buat cerpen--mana lagi buntu ide--sekalian aja pake ide yang ini. Makanya plotnya jadi ngejer begini. Judul cerpen ini sendiri bener-bener aneh buat aku. Gak jelas, bahasa nyampur-nyampur antara Korea sama Jepang. Soalnya mau bikin judul sesuai apa yang aku pikirin selama ini, jatoh-jatohnya ga masuk sama cerpennya. Kalau ceritanya dipanjangin lagi sesuai dengan ideku selama ini, pasti judulnya masuk. -_- Mohon dimaklumi deh ya, penulis amatiran. Ditunggu comment-nya :) - SefriskaMaria
No comments:
Post a Comment