K-On Mio Akiyama

Friday, June 29, 2012

Macarons and the Lovers: Chapter 3



Hari yang melelahkan.
            Pierre terduduk di sofa empuknya dan membiarkan kepalanya tersandar pada dinding kamar tidurnya. Ia memejamkan matanya, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Hanya ingin beristirahat sebentar setelah sehari yang penuh kegiatan.

            Dimulai dari konferensi pers yang memakan waktu cukup lama. Menjawab satu per satu pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan ternyata tidak mudah juga. Apalagi jika pertanyaan yang diajukan mulai sedikit menyeleweng. Yang terburuk adalah pertanyaan yang berusaha untuk mencari keburukan film yang digarapnya. Agak susah-gampang bagi Pierre menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu sampai wartawan-wartawan tersebut mendapatkan jawaban yang benar-benar membuat mereka puas. Untung saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan hanya untuk Pierre. Jika tidak, bisa saja ia pingsan karena kewalahan menanggapi beberapa wartawan yang terkesan tidak puas dengan jawabannya.
            Dilanjut sorenya Pierre harus menghadiri pestanya sendiri—pesta perayaan kemenangan filmnya di Festifal Film Cannes minggu lalu. Pesta yang benar-benar menguras energinya dari sore sampai malam. Ia harus tetap berdiri sepanjang waktu, tersenyum, dan menyalami setiap tamu. Bahkan banyak dari tamu yang datang sudah dilupakannya siapa mereka. Mau tidak mau Stephan Durand, sepupunya, yang—kalau orang bilang—asisten pribadinya itu harus mengingat dengan baik setiap tamu yang hadir.
            Tentang Stephan, sebenarnya Pierre tidak pernah menganggap dia sebagai asisten pribadinya. Stephan memang selalu hadir dalam setiap pesta penting yang dihadiri oleh Pierre. Selain berguna sebagai “pengingat”—ingatannya sangat kuat—Stephan juga bisa menjadi teman mengobrol yang baik dikala Pierre mencapai titik terbosannya.
            Hampir saja Pierre terlelap. Tetapi dengan sekali sentakkan Pierre membuka matanya saat pintu kamarnya menjeblak terbuka secara tiba-tiba. Kedamaiannya pun sirna dalam sesaat.
            Samar-samar Pierre menangkap sosok laki-laki berambut kemerahan memasuki kamarnya. Dengan malas Pierre langsung menutup matanya lagi. Ia sedang tidak ingin mendengar apapun celotehan dari Stephan.
            “Hei, kau tidur saja bisanya. Aku baru saja ingin memintamu untuk memperkenalkanku dengan aktris pemeran utama filmmu. Dia cantik, kau tahu? Aku ingin berkenalan dengannya, hanya saja aku sedikit malu,” curhat Stephan.
            Sudah tertebak. Stephan pasti akan mengungkit hal itu lagi.
            Bukannya jahat terhadap saudaranya sendiri, Pierre hanya tidak begitu suka dengan orang yang dimaksud oleh Stephan itu. Gadis angkuh, pikir Pierre. Kalau bukan karena totalitasnya dalam berakting, ia segan untuk memilih orang itu.
            “Kau mendengarkanku tidak?” tanya Stephan sambil mengguncang tangan kanan Pierre.
            Pierre menggelengkan kepalanya dan tersenyum menyeringai.
            Sedetik kemudian Pierre merasa Stephan yang sedari tadi berdiri itu telah duduk di samping kanan Pierre.
            “Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tidak menyukainya selama ini. Maksudku, dia cantik. Seingatku dia memiliki banyak penggemar. Dan lagi umurnya hanya setahun di bawahmu—kurasa kau terlalu muda untuk menjadi seorang sutradara. Jadi, kenapa tidak?”
            Pierre membuka kelopak matanya dengan malas dan memutar kedua bola mata hazel-nya. Perlahan ia menoleh ke arah Stephan. Hening sejenak saat Pierre menatap dalam mata abu-abu Stephan hingga akhirnya ia mendengus kesal.
            “Kenapa harus?” tanya Pierre.
            “Baiklah kembali ke permasalahan. Aku ingin kau mengenalkanku dengannya. Boleh?”
            Pierre melemparkan ekspresi muka terdatarnya pada Stephan, dan menjawab dengan nada yang agak ketus, “Tidak.”
            “Oh sobat, kurasa kau terlihat buruk malam ini karena kau belum makan macarons sedikit pun. Apakah tebakanku benar?”
            Tidak ada balasan. Pierre hanya diam.
            “Kurasa benar. Coba lihat ini! Sepertinya bisa membuatmu lebih baik.”
            Usaha pengalihan pembicaraan yang baik. Setidaknya Pierre tak perlu berlama-lama mendengarkan Stephan berbicara tentang gadis itu.
            Kemudian entah dari mana datangnya, tiba-tiba Stephan memegang sesuatu di tangannya. Pierre mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada mata Stephan. Sebuah kotak dengan nuansa warna hijau, bercorak bunga yang berwarna ungu. Pierre menaikkan kedua alisnya saat membaca tulisan yang tercetak di kotak tersebut.
            Ladurée?
            Bagaimana mungkin?
            Stephan terkekeh. “Kau terkejut? Baiklah, kalau kau ingin tahu. Aku mendapatkan ini dari seseorang di masa lalumu yang ternyata sekarang ada di sini. Dan ternyata tadi dia menghadiri pestamu. Dia sengaja memintaku merahasiakan kehadirannya.”
            Pierre mengernyitkan dahinya. Seseorang di masa lalu... siapa?
            Tiba-tiba Pierre teringat seseorang. Bukan, pastinya bukan orang yang dimaksud oleh Stephan. Pierre hanya tidak sengaja teringat orang yang satu ini.
            Terserah saja kalau Stephan berniat untuk terkesan agak misterius. Lama-kelamaan juga orang itu pasti menampakkan dirinya di hadapan Pierre.
            “Jam berapa sekarang?” tanya Pierre dengan suara mendesak.
            “Sekitar jam sembilan. Hampir jam sepuluh,” jawab Stephan bingung.
            “Baiklah. Merci,” balas Pierre sambil lalu.
            Pierre segera bangkit dari sofa empuknya. Ia langsung menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Sebelum keluar Pierre menyempatkan dirinya untuk mematut diri di depan kaca. Dengan percaya dirinya ia sedikit tersenyum saat melihat pantulan dirinya.
            “Mau ke mana kau?” tanya Stephan kebingungan.
            “Bertemu dengan orang mati yang hidup kembali.”
            “Apa?!” Kali ini Pierre yakin Stephan sudah sangat kebingungan  dengan perkataan Pierre.
            Pierre hanya berjalan meninggalkan sepupunya yang sedang keheranan itu. Stephan ingin mencoba menjadi misterius, kalau begitu Pierre juga bisa.

                                                                        ***

            “Merci beacoup,” gumam Sophie pada pelanggan terakhirnya.
            Sophie menutup pintu kedai dan kembali berjalan masuk ke dalam. Semua pegawainya sibuk merapikan tempat itu. Seulas senyum tipis mengembang begitu saja di wajah tirusnya.
            “Sudah kau balik papannya?” teriak Hellena.
            Sophie tertawa kecil. “Oh, aku lupa. Terima kasih Hellena.”
            Sophie berjalan mendekati pintu masuk. Sekilas ia menatap ke jalanan melalui pintu kaca di hadapannya. Gelap. Hanya diterangi cahaya lampu jalan. Butik yang ada di seberang kedainya juga sudah tutup. Jelas saja, jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat.
            Tangan Sophie meraih papan kecil yang digantung di pintu. Ia menatap papan itu lama. Terkadang saat-saat menutup kedai adalah saat yang cukup berat bagi Sophie. Ia menikmati momen dimana setiap orang tersenyum, tertawa, senang saat memakan macarons. Ia senang saat melihat anak kecil tersenyum bahagia ketika menyantap macarons. Baginya, macarons menaburkan kemanisan tersendiri dalam hidupnya.
            Terlalu lama menatap dalam papan yang sedang dipegangnya, membuat Sophie tidak menyadari kehadiran sosok seseorang tepat di depannya. Sophie agak terlonjak dan mundur selangkah. Ia mengamati orang itu sebentar.
            Seorang laki-laki berambut cokelat. Mata hazel-nya menatap Sophie. Bibirnya membentuk seulas senyuman. Sekilas mata amber Sophie menatap jauh ke dalam mata orang itu. Sophie ingat.
            “Bolehkah aku masuk? Tulisannya masih buka, bukan?” tanya laki-laki itu. Sebenarnya Sophie tidak bisa mendengar dengan jelas. Ia hanya membaca gerakan mulut laki-laki itu.
            Sophie baru tersadar ia sama sekali belum membalikkan papan yang sedari tadi dipegangnya itu. Sudah jelas artinya bahwa ia tidak bisa melakukan apapun lagi selain menerima orang itu masuk. Salahnya sendiri berlama-lama.
            Dengan segera Sophie membukakan pintu. Laki-laki itu langsung memasuki kedai. Sophie mengikut di baliknya.
            Mereka berhenti tepat di depan etalase yang kosong. Sophie yang kini berdiri di samping laki-laki tadi langsung menjelaskan yang sejujurnya kepada orang itu. “Mm, maaf Monsieur (Tuan), sebenarnya tadinya kami sudah mau tutup. Makanya tidak ada lagi macarons yang dipajang di sini.”
            Laki-laki itu hanya bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian ia berbalik dan sepertinya hendak berjalan keluar.
            Tiba-tiba Sophie terpikir sesuatu. Tidak, tidak. Laki-laki itu tidak boleh pergi secepatnya. Bukan karena Sophie ingin menerima uang laki-laki itu, tapi karena Sophie ingin mengetahui sesuatu.
            “Eh, Monsieur, kalau anda memang mau, kami masih ada macarons.”
            Laki-laki itu terdiam sebentar. Tak lama kemudian ia membalikkan badannya. Ia menatap Sophie. Lagi-lagi tatapan misterius itu. Sambil terus menatap Sophie, laki-laki itu berjalan mendekati Sophie dan berhenti tepat di hadapannya.
            “Baiklah. Aku mau... Mademoiselle (Nona),” katanya sambil tersenyum lebar. Kemudian ia mengacungkan jari telunjuk kanannya. “Satu lusin.”
            Tidak ingin berlama-lama Sophie langsung berjalan masuk ke ruang stock yang berada tepat di belakang kasir. Dalam hati ia terus berharap supaya pegawainya belum membungkus semua macarons yang tersisa. Sudah jadi kebiasaan baginya untuk membagikan setiap macarons yang tidak habis terjual. Lebih baik begitu dari pada harus menyimpan dan menjualnya kembali esok harinya. Kalau dibuang pun sayang.
            Sesampainya ia di dalam ruang itu, ia melihat beberapa pegawai mulai saling membagi jatah. Sebenarnya tidak banyak. Biasanya jumlah macarons yang tidak habis terjual hanya sekitar dua-puluh potong.
            “Tahan sebentar.”
            Seketika itu juga semuanya langsung terdiam. Mereka menatap Sophie heran.
            Sophie hanya bisa pasrah saat melihat empat orang pegawainya sudah mengantongi dua macarons untuk masing-masing. Ia lalu melirik cepat ke arah baki. Tinggal 16 buah macarons.
            Sophie langsung bergerak cepat menuju baki tersebut. Ia mengambil satu kemasan kotak dan mulai memasukkan beberapa macarons ke dalamnya. “Aku akan ambil 12. Kalian boleh bungkus sisanya.”
            “Ada yang sedang ingin makan banyak rupanya,” tukas seseorang. Sophie hanya mengedikkan bahu dan menaikkan kedua alisnya saat menyadari kalau itu adalah suara Hellena.
            Sophie merasa Hellena sekarang sudah berdiri di sampingnya. Ia tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap fokus mengemas macarons.
            “Kenapa?” tanya Hellena pada akhirnya.
            Sophie terkekeh. “Ini gila!”
            Setelah selesai mengemas, Sophie hanya menatap kosong kotak berwarna kuning yang sedang digenggamnya.
            Hellena yang tampak dengan jelas tidak mengerti perkataan Sophie hanya berdiri terpaku. Diam dalam kebingungan.
            “Ini untuk laki-laki itu,” Sophie berusaha menjelaskan, lalu ia melanjutkan, “Kau tahu, tadi saat aku baru saja mau menutup toko, tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Jelas saja aku terkejut. Dia bilang dia ingin membeli. Berhubung aku belum menutup tokonya secara resmi, jadi... ya aku membiarkannya masuk.
            Kau sedang membicarakan.... Kalimat Hellena terpotong. Seakan baru mengerti, Hellena langsung melanjutkan. Stalker itu?
            Belum sempat Sophie menjawab, ia langsung diserbu oleh kata-kata Hellena. Kau gila? Dia sudah jelas stalker. Kalau tidak untuk apa ke sini malam-malam? Kenapa juga kau harus menerimanya? Harusnya begitu kau melihatnya, kau langsung balikkan saja papan itu!
            Aku hanya ingin tahu.
            Apa?
            Sophie menghela napas dan tersenyum. Aku ingin mengenalnya.
            Ia langsung melenggang pergi meninggalkan Hellena yang sedang tercengang. Tepat sebelum ia keluar dari ruangan itu, ia berhenti.
            Sophie berbalik dan menatap setiap pegawainya. Kalian semua pulang saja. Biar aku yang urus.
            Sophie sudah keluar dari ruang stock saat ia melihat laki-laki itu sedang berdiri di depan kasir. Sophie cepat-cepat berjalan menuju ke balik mesin kasir, dan orang itu langsung menyadari kehadiran Sophie.
            Sophie segera menghitung di kasir. Setelah itu ia memberikan struk dan sekotak macarons yang telah dibungkusnya dalam paper bag. Laki-laki itu mengeluarkan secarik uang kertas dan membayarnya pada Sophie.
            “Merci beacoup,” ucap mereka berdua secara bersamaan. Keduanya terlihat salah tingkah.
            “Apakah aku masih bisa makan di sini?” tanya laki-laki itu.
            Tanpa sadar Sophie mengangguk. Laki-laki itu tersenyum lalu berjalan ke salah satu meja. Tepat pada saat itu Sophie baru sadar apa yang sudah dilakukannya. Rasanya tidak sopan kalau ia harus mengusir orang itu. Sophie hanya membiarkan dia menyantap macaronsnya.
            Tiba-tiba Sophie mendengar suara pintu terbuka. Reflek Sophie berputar dan mendapati sosok seorang Hellena Martin. Ia berdiri mematung sambil bersedekap. Sepasang mata hijaunya menatap Sophie dengan tajam.
            “Kau belum pulang?” tanya Sophie.
            Hellena mendengus. “Meninggalkanmu berdua saja dengan stalker itu? Yang benar saja!” Suara Hellena yang ditinggikan membuat Sophie agak cemas. Ia langsung menoleh ke arah laki-laki tadi. Takut orang itu mendengar julukan stalker yang diberikan oleh Hellena padanya.
            Dia bukan stalker. Sophie berbicara agak berbisik.
            Aku hanya khawatir Sophie. Kau tahu sendiri.
            Untuk sesaat Sophie terenyak. Pikirannya melayang. Sophie langsung mengerjapkan matanya. Mengembalikan kesadarannya.
            Sophie tertawa sumbang. Aku sudah dewasa Hellena. Bukan lagi  anak kecil yang tidak berdaya.
            Hellena mendekat. Kau yakin tidak apa-apa?
            Sophie mendengus. Ya, tentu saja. Kau terlalu berlebihan sobat.
            Mereka berdua pun tertawa pelan.
            Baiklah. Aku akan pulang kalau memang itu maumu. Hati-hati. Hellena langsung berlalu keluar lewat pintu samping.
            Kini tinggal Sophie dan seorang laki-laki di kedai itu. Hanya berdua dan suasananya sangat canggung.
            Yang lain sudah pulang? Suara laki-laki itu agak menyentakkan Sophie.
            Ya... begitulah.
            Kau mau?
            Sophie mengangkat kedua alisnya. Eh.... Maksud Monsieur?
            Laki-laki itu tersenyum. Entah kenapa Sophie mulai terbiasa dengan senyuman orang itu.
            Tidak, tidak. Sophie segers menepis pikiran itu.
            Macarons. Kau mau? tawar laki-laki itu.
            Sophie agak ragu sebentar. Hingga akhirnya laki-laki itu bersuara, “Tidak apa-apa. Anggap saja aku menraktirmu.”
            Oke, tidak buruk juga sepertinya. Perlahan Sophie mendekati orang itu. Lagi pula bagaimana bisa dia mengenal orang itu kalau tidak mengobrol. Sophie pun duduk di hadapan orang itu.
            Orang itu menyodorkan kotak macaronsnya. Sophie mengambil satu. Lalu orang itu mulai membuka pembicaraan. “Jadi, kalau boleh tahu, namamu siapa Mademoiselle?”
            Orang itu menatap lurus ke dalam mata Sophie. Sophie balas menatapnya. Dan senyumannya itu entah bagaimana bisa membuat Sophie tidak bisa berpikir dengan jernih.
            “Nama saya Sophie. Sophie Fournier.”
            Lagi-lagi orang itu tersenyum. Kali ini tersenyum lebar yang memamerkan deretan giginya yang putih.
            “Tidak usah seresmi itu Mademoiselle.” Laki-laki itu tertawa. Sophie hanya tersenyum kikuk. Laki-laki itu pun melanjutkan, “Mm, biar kutebak sesuatu. Kau pemilik tempat ini?”
            Dengan bangganya Sophie tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja.”
            “Namaku Pierre. Pierre Durand,” ucap laki-laki ituyang ternyata bernama Pierretanpa ditanya. “Senang berkenalan denganmu... Sophie.”
            Jadi namanya Pierre. Nama yang bagus. Tidak mengerti kenapa, Sophie sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya dari orang bernama Pierre ini. Sorot mata hazel yang dimiliki Pierre membuat Sophie terpikat. Tidak, ini tidak benar. Kenapa juga Sophie jadi berpikir seperti ini. Tidak seharusnya Sophie berpikir begini karena Sophie menyukai Timothée. Tetapi ada sesuatu dengan mata Pierre yang membuat Sophie penasaran.
            Sophie kemudian teringat. Tanpa bisa dicegah, Sophie memutuskan untuk bertanya. Tidak sopan sebenarnya, tapi ia sudah begitu penasaran kenapa juga Pierre ini sering sekali datang ke kedainya, dan—kata Hellena—sering memerhatikan Sophie. Dengan tampang dan senyum yang membuat hatinya damai, tidak mungkin bukan kalau Pierre seorang stalker? Sangat tidak masuk akal.
            “Kenapa kau setiap hari datang ke sini?” tanya Sophie pada akhirnya.
            Pierre yang sedang asyiknya menyantap macarons langsung terdiam. Ia menegakkan badannya dan menatap Sophie serius. Saat itu juga Sophie merasa salah telah menanyakan pertanyaan semacam itu. Semoga saja Pierre ini tidak akan berhenti berlangganan di tempatnya dan mencemarkan nama Sophie atas ucapannya yang lancang. Sophie menyesali pertanyaannya yang terkesan kasar itu.
            “Karena aku suka macarons,” jawab Pierre pada akhirnya. Senyumnya mengembang dan tak bisa dipungkiri kalau Sophie merasa lega karena Pierre tersenyum. Itu berarti dia tidak merasa tersinggung.
            “Begitu ya?” ujar Sophie.
            “Sebenarnya tidak hanya itu. Nanti juga kau tahu.”
            Sophie mengernyitkan dahinya. Apa maksud dengan nanti juga Sophie tahu? Pierre sedang merencanakan sesuatu? Atau dia benar-benar stalker? Tidak mungkin.
            Karena tidak ada balasan dari Sophie, Pierre langsung mengangkat suara. “Kalian ada layanan pesan-antar tidak? Besok aku ingin ke sini sebenarnya, tapi tidak bisa. Ada tidak?”
            Sophie mengerjapkan kedua matanya. “Tidak ada.”
            Pierre mendesah dan terlihat kecewa. “Sayang sekali. Kalau begitu apa di Cannes ada tempat lain yang menjual macarons dengan layanan pesan-antar? Jujur saja, aku baru seminggu lebih di sini dan sebelumnya tidak pernah ke sini.”
            Dengan cepat, sangat cepat, Sophie menggelengkan kepalanya. Sophie langsung menampilkan raut wajah—yang disebut oleh Hellena—menjengkelkan. Kedua alis terangkat tinggi. Mata dibelalakkan seakan hampir keluar. Senyum lebar tapi terlihat tidak ikhlas yang menunjukkan deretan giginya.
            “Tenang saja, aku akan mengusahakannya untukmu.”
            Tentu saja Sophie akan membuat layanan itu khusus untuk Pierre, dari pada ia harus kehilangan salah satu pelanggannya.
            “Baiklah,” ujar Pierre. Pierre menunduk, poninya ikut terjuntai seiring dengan gerakannya. Tangannya merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu. Seperti dompet. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu semacam kartu dari dalam dompetnya itu.
            Pierre menyerahkan kartu itu kepada Sophie. “Kartu namaku. Ada alamatku di situ. Telepon aku. Rumahku terbuka setiap waktu.”
            Sophie menerima kartu itu dan membaca dengan seksama. Pierre Joseph Durand. Mata Sophie membulat saat melihat satu kata. Sutradara? Sophie menatap Pierre. Rambut cokelat yang agak panjang—bukan gondrong, setidaknya hanya mencapai kerah bajunya—dan dipotong gaya anak muda. Kemeja kotak-kotak berwarna biru. Terlihat cukup muda. Selama ini Sophie memiliki bayangan bahwa sutradara adalah seorang berumur empat puluhan. Rambut yang panjang ataupun gondrong, serta berkaus longgar. Tidak lupa topi dan kacamata. Tetapi laki-laki di hadapannya kini sangat jauh berbeda dari bayangannya.
            Sophie pun tertawa. “Sutradara? Umurmu berapa memangnya?”
            Pierre hanya tersenyum. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan reaksi ketidakpercayaan orang mengenai pekerjaannya.
            “Tiga puluh?” terka Sophie.         
            “Tidak. Lebih muda lima tahun dari perkiraanmu.”
            Sophie terbelalak. “Aku juga. Wah, masih muda juga ternyata. Dilihat dari penampilanmu, kau lebih cocok jadi aktornya saja.”
            Kedua alis Pierre terangkat. Lalu ia sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Sophie. Menyebabkan Sophie merasa agak gugup. Ditambah lagi kedua mata Pierre menatap Sophie lekat-lekat. Pierre pun mengangkat suara, “Oh ya? Tapi aktingku tidak bagus. Aku pernah sekali ikut casting tapi ditolak. Dulu jadi aktor merupakan impianku, hingga akhirnya saat gagal casting seseorang menyemangatiku. Dia bilang, mungkin bukan jalanku. Dia menyarankanku untuk mencoba jadi orang di belakang layar saja. Dan terbukti pada akhirnya aku berhasil di bidang ini. Aku sangat berterima kasih pada sarannya.”
            Sophie tidak bersuara menanggapi penjelasan Pierre. Ia hanya membentuk huruf “o” dengan mulutnya. Bukannya tidak tertarik dengan cerita Pierre, tapi ia tidak tahu harus menanggapi dengan kata-kata semacam apa.
             “Jadi, sesuai janji, hubungi aku besok di nomor itu, oke?” tanya Pierre.
            Tanpa terasa mereka berdua telah menghabiskan kedua belas buah macarons yang dipesan Pierre. Pierre bangkit dari kursi diikuti oleh Sophie.
            “Tentu,” jawab Sophie.
            Pierre tersenyum dan mengangkat tangannya. Ia langsung berbalik dan berjalan keluar. Tanpa sadar Sophie terus memerhatikan punggung laki-laki itu menjauh, dan akhirnya menghilang dalam mobilnya.

©29.06.12 SefriskaMaria

No comments:

Post a Comment