Hari yang melelahkan.
Pierre
terduduk di sofa empuknya dan membiarkan kepalanya tersandar pada dinding kamar
tidurnya. Ia memejamkan matanya, menarik napas panjang dan mengembuskannya
perlahan. Hanya ingin beristirahat sebentar setelah sehari yang penuh kegiatan.
Dimulai
dari konferensi pers yang memakan waktu cukup lama. Menjawab satu per satu
pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan ternyata tidak mudah juga.
Apalagi jika pertanyaan yang diajukan mulai sedikit menyeleweng. Yang terburuk
adalah pertanyaan yang berusaha untuk mencari keburukan film yang digarapnya.
Agak susah-gampang bagi Pierre menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu
sampai wartawan-wartawan tersebut mendapatkan jawaban yang benar-benar membuat
mereka puas. Untung saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan hanya untuk
Pierre. Jika tidak, bisa saja ia pingsan karena kewalahan menanggapi beberapa
wartawan yang terkesan tidak puas dengan jawabannya.
Dilanjut
sorenya Pierre harus menghadiri pestanya sendiri—pesta
perayaan kemenangan filmnya di Festifal Film Cannes minggu lalu. Pesta yang
benar-benar menguras energinya dari sore sampai malam. Ia harus tetap berdiri
sepanjang waktu, tersenyum, dan menyalami setiap tamu. Bahkan banyak dari tamu
yang datang sudah dilupakannya siapa mereka. Mau tidak mau Stephan Durand,
sepupunya, yang—kalau orang bilang—asisten pribadinya itu harus mengingat dengan
baik setiap tamu yang hadir.
Tentang Stephan, sebenarnya Pierre
tidak pernah menganggap dia sebagai asisten pribadinya. Stephan memang selalu
hadir dalam setiap pesta penting yang dihadiri oleh Pierre. Selain berguna
sebagai “pengingat”—ingatannya sangat kuat—Stephan juga bisa menjadi teman
mengobrol yang baik dikala Pierre mencapai titik terbosannya.
Hampir saja Pierre terlelap. Tetapi
dengan sekali sentakkan Pierre membuka matanya saat pintu kamarnya menjeblak
terbuka secara tiba-tiba. Kedamaiannya pun sirna dalam sesaat.
Samar-samar Pierre menangkap sosok
laki-laki berambut kemerahan memasuki kamarnya. Dengan malas Pierre langsung
menutup matanya lagi. Ia sedang tidak ingin mendengar apapun celotehan dari
Stephan.
“Hei, kau tidur saja bisanya. Aku
baru saja ingin memintamu untuk memperkenalkanku dengan aktris pemeran utama
filmmu. Dia cantik, kau tahu? Aku ingin berkenalan dengannya, hanya saja aku
sedikit malu,” curhat Stephan.
Sudah tertebak. Stephan pasti akan
mengungkit hal itu lagi.
Bukannya jahat terhadap saudaranya
sendiri, Pierre hanya tidak begitu suka dengan orang yang dimaksud oleh Stephan
itu. Gadis angkuh, pikir Pierre. Kalau bukan karena totalitasnya dalam
berakting, ia segan untuk memilih orang itu.
“Kau mendengarkanku tidak?” tanya
Stephan sambil mengguncang tangan kanan Pierre.
Pierre menggelengkan kepalanya dan
tersenyum menyeringai.
Sedetik kemudian Pierre merasa
Stephan yang sedari tadi berdiri itu telah duduk di samping kanan Pierre.
“Aku tidak mengerti kenapa kau
begitu tidak menyukainya selama ini. Maksudku, dia cantik. Seingatku dia
memiliki banyak penggemar. Dan lagi umurnya hanya setahun di bawahmu—kurasa kau
terlalu muda untuk menjadi seorang sutradara. Jadi, kenapa tidak?”
Pierre membuka kelopak matanya
dengan malas dan memutar kedua bola mata hazel-nya.
Perlahan ia menoleh ke arah Stephan. Hening sejenak saat Pierre menatap dalam
mata abu-abu Stephan hingga akhirnya ia mendengus kesal.
“Kenapa harus?” tanya Pierre.
“Baiklah kembali ke permasalahan.
Aku ingin kau mengenalkanku dengannya. Boleh?”
Pierre melemparkan ekspresi muka
terdatarnya pada Stephan, dan menjawab dengan nada yang agak ketus, “Tidak.”
“Oh sobat, kurasa kau terlihat buruk
malam ini karena kau belum makan macarons sedikit pun. Apakah tebakanku benar?”
Tidak ada balasan. Pierre hanya diam.
“Kurasa benar. Coba lihat ini!
Sepertinya bisa membuatmu lebih baik.”
Usaha pengalihan pembicaraan yang
baik. Setidaknya Pierre tak perlu berlama-lama mendengarkan Stephan berbicara
tentang gadis itu.
Kemudian entah dari mana datangnya,
tiba-tiba Stephan memegang sesuatu di tangannya. Pierre mengalihkan
pandangannya yang semula tertuju pada mata Stephan. Sebuah kotak dengan nuansa
warna hijau,
bercorak bunga yang berwarna ungu.
Pierre menaikkan kedua alisnya saat membaca tulisan yang tercetak di kotak
tersebut.
Ladurée?
Bagaimana mungkin?
Stephan terkekeh. “Kau terkejut?
Baiklah, kalau kau ingin tahu. Aku mendapatkan ini dari seseorang di masa
lalumu yang ternyata sekarang ada di sini. Dan ternyata tadi dia menghadiri
pestamu. Dia sengaja memintaku merahasiakan kehadirannya.”
Pierre mengernyitkan dahinya.
Seseorang di masa lalu... siapa?
Tiba-tiba Pierre teringat seseorang.
Bukan, pastinya bukan orang yang dimaksud oleh Stephan. Pierre hanya tidak
sengaja teringat orang yang satu ini.
Terserah saja kalau Stephan berniat
untuk terkesan agak misterius. Lama-kelamaan juga orang itu pasti menampakkan
dirinya di hadapan Pierre.
“Jam berapa sekarang?” tanya Pierre
dengan suara mendesak.
“Sekitar jam sembilan. Hampir jam
sepuluh,” jawab Stephan bingung.
“Baiklah. Merci,” balas Pierre
sambil lalu.
Pierre segera bangkit dari sofa
empuknya. Ia langsung menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.
Sebelum keluar Pierre menyempatkan dirinya untuk mematut diri di depan kaca.
Dengan percaya dirinya ia sedikit tersenyum saat melihat pantulan dirinya.
“Mau ke mana kau?” tanya Stephan
kebingungan.
“Bertemu dengan orang mati yang
hidup kembali.”
“Apa?!” Kali ini Pierre yakin
Stephan sudah sangat kebingungan dengan
perkataan Pierre.
Pierre hanya berjalan meninggalkan
sepupunya yang sedang keheranan itu. Stephan ingin mencoba menjadi misterius,
kalau begitu Pierre juga bisa.
***
“Merci
beacoup,” gumam Sophie pada pelanggan terakhirnya.
Sophie
menutup pintu kedai dan kembali berjalan masuk ke dalam. Semua pegawainya sibuk
merapikan tempat itu. Seulas senyum tipis mengembang begitu saja di wajah
tirusnya.
“Sudah
kau balik papannya?” teriak Hellena.
Sophie
tertawa kecil. “Oh, aku lupa. Terima kasih Hellena.”
Sophie
berjalan mendekati pintu masuk. Sekilas ia menatap ke jalanan melalui pintu
kaca di hadapannya. Gelap. Hanya diterangi cahaya lampu jalan. Butik yang ada
di seberang kedainya juga sudah tutup. Jelas saja, jam sudah menunjukkan pukul
10 lewat.
Tangan
Sophie meraih papan kecil yang digantung di pintu. Ia menatap papan itu lama.
Terkadang saat-saat menutup kedai adalah saat yang cukup berat bagi Sophie. Ia
menikmati momen dimana setiap orang tersenyum, tertawa, senang saat memakan
macarons. Ia senang saat melihat anak kecil tersenyum bahagia ketika menyantap
macarons. Baginya, macarons menaburkan kemanisan tersendiri dalam hidupnya.
Terlalu
lama menatap dalam papan yang sedang dipegangnya, membuat Sophie tidak
menyadari kehadiran sosok seseorang tepat di depannya. Sophie agak terlonjak dan
mundur selangkah. Ia mengamati orang itu sebentar.
Seorang
laki-laki berambut cokelat. Mata hazel-nya
menatap Sophie. Bibirnya membentuk seulas senyuman. Sekilas mata amber Sophie menatap jauh ke dalam mata
orang itu. Sophie ingat.
“Bolehkah
aku masuk? Tulisannya masih buka, bukan?” tanya laki-laki itu. Sebenarnya
Sophie tidak bisa mendengar dengan jelas. Ia hanya membaca gerakan mulut
laki-laki itu.
Sophie
baru tersadar ia sama sekali belum membalikkan papan yang sedari tadi
dipegangnya itu. Sudah jelas artinya bahwa ia tidak bisa melakukan apapun lagi
selain menerima orang itu masuk. Salahnya sendiri berlama-lama.
Dengan
segera Sophie membukakan pintu. Laki-laki itu langsung memasuki kedai. Sophie
mengikut di baliknya.
Mereka
berhenti tepat di depan etalase yang kosong. Sophie yang kini berdiri di
samping laki-laki tadi langsung menjelaskan yang sejujurnya kepada orang itu.
“Mm, maaf Monsieur (Tuan),
sebenarnya tadinya kami sudah mau tutup. Makanya tidak ada lagi macarons yang
dipajang di sini.”
Laki-laki
itu hanya bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian ia berbalik
dan sepertinya hendak berjalan keluar.
Tiba-tiba
Sophie terpikir sesuatu. Tidak, tidak. Laki-laki itu tidak boleh pergi
secepatnya. Bukan karena Sophie ingin menerima uang laki-laki itu, tapi karena
Sophie ingin mengetahui sesuatu.
“Eh,
Monsieur, kalau
anda memang mau, kami masih ada macarons.”
Laki-laki
itu terdiam sebentar. Tak lama kemudian ia membalikkan badannya. Ia menatap
Sophie. Lagi-lagi tatapan misterius itu. Sambil terus menatap Sophie, laki-laki
itu berjalan mendekati Sophie dan berhenti tepat di hadapannya.
“Baiklah.
Aku mau... Mademoiselle (Nona),”
katanya sambil tersenyum lebar. Kemudian ia mengacungkan jari telunjuk kanannya.
“Satu lusin.”
Tidak ingin
berlama-lama Sophie langsung berjalan masuk ke ruang stock yang berada tepat di belakang kasir. Dalam hati ia terus
berharap supaya pegawainya belum membungkus semua macarons yang tersisa. Sudah
jadi kebiasaan baginya untuk membagikan setiap macarons yang tidak habis
terjual. Lebih baik begitu dari pada harus menyimpan dan menjualnya kembali
esok harinya. Kalau dibuang pun sayang.
Sesampainya
ia di dalam ruang itu, ia melihat beberapa pegawai mulai saling membagi jatah.
Sebenarnya tidak banyak. Biasanya jumlah macarons yang tidak habis terjual
hanya sekitar dua-puluh potong.
“Tahan
sebentar.”
Seketika
itu juga semuanya langsung terdiam. Mereka menatap Sophie heran.
Sophie
hanya bisa pasrah saat melihat empat orang pegawainya sudah mengantongi dua macarons
untuk masing-masing. Ia lalu melirik cepat ke arah baki. Tinggal 16 buah
macarons.
Sophie
langsung bergerak cepat menuju baki tersebut. Ia mengambil satu kemasan kotak
dan mulai memasukkan beberapa macarons ke dalamnya. “Aku akan ambil 12. Kalian
boleh bungkus sisanya.”
“Ada
yang sedang ingin makan banyak rupanya,” tukas seseorang. Sophie hanya
mengedikkan bahu dan menaikkan kedua alisnya saat menyadari kalau itu adalah
suara Hellena.
Sophie
merasa Hellena sekarang sudah berdiri di sampingnya. Ia tidak menghiraukan
kehadiran gadis itu dan tetap fokus mengemas macarons.
“Kenapa?”
tanya Hellena pada akhirnya.
Sophie
terkekeh. “Ini gila!”
Setelah
selesai mengemas, Sophie hanya menatap kosong kotak berwarna kuning yang sedang
digenggamnya.
Hellena
yang tampak dengan jelas tidak mengerti perkataan Sophie hanya berdiri terpaku.
Diam dalam kebingungan.
“Ini untuk
laki-laki itu,” Sophie berusaha menjelaskan, lalu ia melanjutkan, “Kau tahu, tadi saat aku baru saja mau
menutup toko, tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Jelas saja aku terkejut. Dia
bilang dia ingin membeli. Berhubung aku belum menutup tokonya secara resmi,
jadi... ya aku membiarkannya masuk.”
”Kau
sedang membicarakan....” Kalimat Hellena terpotong. Seakan baru
mengerti, Hellena langsung melanjutkan. ”Stalker itu?”
Belum
sempat Sophie menjawab, ia langsung diserbu oleh kata-kata Hellena. ”Kau
gila? Dia sudah jelas stalker. Kalau
tidak untuk apa ke sini malam-malam? Kenapa juga kau harus menerimanya?
Harusnya begitu kau melihatnya, kau langsung balikkan saja papan itu!”
”Aku
hanya ingin tahu.”
”Apa?”
Sophie
menghela napas dan tersenyum. ”Aku
ingin mengenalnya.”
Ia langsung melenggang pergi meninggalkan Hellena yang
sedang tercengang. Tepat sebelum ia keluar dari ruangan itu, ia berhenti.
Sophie berbalik dan menatap setiap pegawainya. “Kalian semua pulang
saja. Biar aku yang urus.”
Sophie
sudah keluar dari ruang stock saat ia
melihat laki-laki itu sedang berdiri di depan kasir. Sophie cepat-cepat
berjalan menuju ke balik mesin kasir, dan orang itu langsung menyadari
kehadiran Sophie.
Sophie
segera menghitung di kasir. Setelah itu ia memberikan struk dan sekotak
macarons yang telah dibungkusnya dalam paper
bag.
Laki-laki itu mengeluarkan secarik uang kertas dan membayarnya pada Sophie.
“Merci
beacoup,” ucap mereka berdua secara bersamaan. Keduanya terlihat salah tingkah.
“Apakah
aku masih bisa makan di sini?” tanya laki-laki itu.
Tanpa
sadar Sophie mengangguk. Laki-laki itu tersenyum lalu berjalan ke salah satu
meja. Tepat pada saat itu Sophie baru sadar apa yang sudah dilakukannya.
Rasanya tidak sopan kalau ia harus mengusir orang itu. Sophie hanya membiarkan
dia menyantap macaronsnya.
Tiba-tiba
Sophie mendengar suara pintu terbuka. Reflek Sophie berputar dan mendapati
sosok seorang Hellena Martin. Ia berdiri mematung sambil bersedekap. Sepasang mata hijaunya menatap Sophie
dengan tajam.
“Kau
belum pulang?” tanya Sophie.
Hellena
mendengus. “Meninggalkanmu berdua saja dengan stalker itu? Yang benar saja!” Suara Hellena yang ditinggikan
membuat Sophie agak cemas. Ia langsung menoleh ke arah laki-laki tadi. Takut
orang itu mendengar julukan stalker
yang diberikan oleh Hellena padanya.
”Dia bukan stalker.” Sophie berbicara agak berbisik.
”Aku hanya khawatir
Sophie. Kau tahu sendiri.”
Untuk sesaat
Sophie terenyak. Pikirannya melayang. Sophie langsung mengerjapkan matanya.
Mengembalikan kesadarannya.
Sophie
tertawa sumbang. ”Aku sudah dewasa Hellena. Bukan lagi anak kecil yang tidak berdaya.”
Hellena
mendekat. ”Kau yakin tidak apa-apa?”
Sophie
mendengus. ”Ya, tentu saja. Kau
terlalu berlebihan sobat.”
Mereka
berdua pun tertawa pelan.
”Baiklah. Aku akan pulang
kalau memang itu maumu. Hati-hati.” Hellena
langsung berlalu keluar lewat pintu samping.
Kini tinggal
Sophie dan seorang laki-laki di kedai itu. Hanya berdua dan suasananya sangat
canggung.
”Yang lain sudah pulang?” Suara laki-laki itu agak menyentakkan Sophie.
”Ya... begitulah.”
”Kau mau?”
Sophie
mengangkat kedua alisnya. ”Eh.... Maksud Monsieur?”
Laki-laki
itu tersenyum. Entah kenapa Sophie mulai terbiasa dengan senyuman orang itu.
Tidak,
tidak. Sophie segers menepis pikiran itu.
”Macarons. Kau mau?” tawar laki-laki itu.
Sophie
agak ragu sebentar. Hingga akhirnya laki-laki itu bersuara, “Tidak apa-apa.
Anggap saja aku menraktirmu.”
Oke,
tidak buruk juga sepertinya. Perlahan Sophie mendekati orang itu. Lagi pula
bagaimana bisa dia mengenal orang itu kalau tidak mengobrol. Sophie pun duduk
di hadapan orang itu.
Orang
itu menyodorkan kotak macaronsnya. Sophie mengambil satu. Lalu orang itu mulai
membuka pembicaraan. “Jadi, kalau boleh tahu, namamu siapa Mademoiselle?”
Orang
itu menatap lurus ke dalam mata Sophie. Sophie balas menatapnya. Dan
senyumannya itu entah bagaimana bisa membuat Sophie tidak bisa berpikir dengan
jernih.
“Nama
saya Sophie. Sophie Fournier.”
Lagi-lagi
orang itu tersenyum. Kali ini tersenyum lebar yang memamerkan deretan giginya
yang putih.
“Tidak
usah seresmi itu Mademoiselle.” Laki-laki itu tertawa. Sophie hanya tersenyum
kikuk. Laki-laki itu pun melanjutkan, “Mm, biar kutebak sesuatu. Kau pemilik
tempat ini?”
Dengan
bangganya Sophie tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja.”
“Namaku
Pierre. Pierre Durand,” ucap laki-laki itu—yang ternyata bernama Pierre—tanpa ditanya. “Senang
berkenalan denganmu... Sophie.”
Jadi
namanya Pierre. Nama yang bagus. Tidak mengerti kenapa, Sophie sama sekali tak
bisa mengalihkan pandangannya dari orang bernama Pierre ini. Sorot mata hazel yang dimiliki Pierre membuat
Sophie terpikat. Tidak, ini tidak benar. Kenapa juga Sophie jadi berpikir
seperti ini. Tidak seharusnya Sophie berpikir begini karena Sophie menyukai
Timothée. Tetapi ada sesuatu dengan mata Pierre yang membuat
Sophie penasaran.
Sophie
kemudian teringat. Tanpa bisa dicegah, Sophie memutuskan untuk bertanya. Tidak
sopan sebenarnya, tapi ia sudah begitu penasaran kenapa juga Pierre ini sering
sekali datang ke kedainya, dan—kata Hellena—sering
memerhatikan Sophie. Dengan tampang dan senyum yang membuat hatinya damai,
tidak mungkin bukan kalau Pierre seorang stalker?
Sangat tidak masuk akal.
“Kenapa kau setiap hari datang ke
sini?” tanya Sophie pada akhirnya.
Pierre yang sedang asyiknya menyantap
macarons langsung terdiam. Ia menegakkan badannya dan menatap Sophie serius.
Saat itu juga Sophie merasa salah telah menanyakan pertanyaan semacam itu.
Semoga saja Pierre ini tidak akan berhenti berlangganan di tempatnya dan
mencemarkan nama Sophie atas ucapannya yang lancang. Sophie menyesali
pertanyaannya yang terkesan kasar itu.
“Karena aku suka macarons,” jawab
Pierre pada akhirnya. Senyumnya mengembang dan tak bisa dipungkiri kalau Sophie
merasa lega karena Pierre tersenyum. Itu berarti dia tidak merasa tersinggung.
“Begitu ya?” ujar Sophie.
“Sebenarnya tidak hanya itu. Nanti
juga kau tahu.”
Sophie
mengernyitkan dahinya. Apa maksud dengan nanti juga Sophie tahu? Pierre sedang
merencanakan sesuatu? Atau dia benar-benar stalker?
Tidak mungkin.
Karena
tidak ada balasan dari Sophie, Pierre langsung mengangkat suara. “Kalian ada
layanan pesan-antar tidak? Besok aku ingin ke sini sebenarnya, tapi tidak bisa.
Ada tidak?”
Sophie
mengerjapkan kedua matanya. “Tidak ada.”
Pierre
mendesah dan terlihat kecewa. “Sayang sekali. Kalau begitu apa di Cannes ada
tempat lain yang menjual macarons dengan layanan pesan-antar? Jujur saja, aku
baru seminggu lebih di sini dan sebelumnya tidak pernah ke sini.”
Dengan
cepat, sangat cepat,
Sophie menggelengkan kepalanya. Sophie langsung menampilkan raut wajah—yang
disebut oleh Hellena—menjengkelkan. Kedua alis terangkat tinggi. Mata
dibelalakkan seakan hampir keluar. Senyum lebar tapi terlihat tidak ikhlas yang
menunjukkan deretan giginya.
“Tenang saja, aku akan
mengusahakannya untukmu.”
Tentu saja Sophie akan membuat
layanan itu khusus untuk Pierre, dari pada ia harus kehilangan salah satu
pelanggannya.
“Baiklah,” ujar Pierre. Pierre
menunduk, poninya ikut terjuntai seiring dengan gerakannya. Tangannya merogoh
sakunya dan mengeluarkan sesuatu. Seperti dompet. Kemudian ia mengeluarkan
sesuatu semacam kartu dari dalam dompetnya itu.
Pierre menyerahkan kartu itu kepada
Sophie. “Kartu namaku. Ada alamatku di situ. Telepon aku. Rumahku terbuka
setiap waktu.”
Sophie menerima kartu itu dan
membaca dengan seksama. Pierre Joseph Durand. Mata Sophie membulat saat melihat
satu kata. Sutradara? Sophie menatap Pierre. Rambut cokelat yang agak panjang—bukan
gondrong, setidaknya hanya mencapai kerah bajunya—dan dipotong gaya anak muda. Kemeja
kotak-kotak berwarna biru. Terlihat cukup muda. Selama ini Sophie memiliki
bayangan bahwa sutradara adalah seorang berumur empat puluhan. Rambut yang panjang ataupun gondrong, serta berkaus longgar.
Tidak lupa topi dan kacamata. Tetapi laki-laki di hadapannya kini sangat jauh
berbeda dari bayangannya.
Sophie pun tertawa. “Sutradara?
Umurmu berapa memangnya?”
Pierre hanya tersenyum. Sepertinya
ia sudah terbiasa dengan reaksi ketidakpercayaan orang mengenai pekerjaannya.
“Tiga puluh?” terka Sophie.
“Tidak. Lebih muda lima tahun dari
perkiraanmu.”
Sophie terbelalak. “Aku juga. Wah,
masih muda juga ternyata. Dilihat dari penampilanmu, kau lebih cocok jadi
aktornya saja.”
Kedua alis Pierre terangkat. Lalu ia
sedikit mencondongkan kepalanya ke arah Sophie. Menyebabkan Sophie merasa agak
gugup. Ditambah lagi kedua mata Pierre menatap Sophie lekat-lekat. Pierre pun
mengangkat suara, “Oh ya? Tapi aktingku tidak bagus. Aku pernah sekali ikut casting tapi ditolak. Dulu jadi aktor
merupakan impianku, hingga akhirnya saat gagal casting seseorang menyemangatiku. Dia bilang, mungkin bukan
jalanku. Dia menyarankanku untuk mencoba jadi orang di belakang layar saja. Dan
terbukti pada akhirnya aku berhasil di bidang ini. Aku sangat berterima kasih
pada sarannya.”
Sophie tidak bersuara menanggapi
penjelasan Pierre. Ia hanya membentuk huruf “o” dengan mulutnya. Bukannya tidak
tertarik dengan cerita Pierre, tapi ia tidak tahu harus menanggapi dengan kata-kata
semacam apa.
“Jadi, sesuai janji, hubungi aku besok di
nomor itu, oke?” tanya Pierre.
Tanpa terasa mereka berdua telah
menghabiskan kedua belas buah macarons yang dipesan Pierre. Pierre bangkit dari
kursi diikuti oleh Sophie.
“Tentu,” jawab Sophie.
Pierre
tersenyum dan mengangkat tangannya. Ia langsung berbalik dan berjalan keluar.
Tanpa sadar Sophie terus memerhatikan punggung laki-laki itu menjauh, dan
akhirnya menghilang dalam mobilnya.
©29.06.12
SefriskaMaria
No comments:
Post a Comment