K-On Mio Akiyama

Sunday, May 27, 2012

Macarons and the Lovers: Chapter 1



Suara tepuk tangan meriah menggema ke seisi ruangan gedung  Palais des Festivals et des Congrès Cannes. Semua pasang mata memandang sosok seorang Pierre Durand. Dengan yakinnya Pierre bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju panggung. Langkahnya diiringi oleh orang-orang yang kini telah bertepuk tangan sambil berdiri.
            Dari atas panggung Pierre dapat melihat semua orang dengan jelas melalui kedua bola mata hazelnya. Perasaan senang sekaligus haru langsung menyelimuti dirinya. Ia benar-benar tidak menyangka semua ini dapat terjadi. Ini seperti mimpi baginya.
            Suasana menjadi hening seketika. Semua orang sudah kembali duduk. Mereka menanti-nantikan Pierre untuk berbicara. Seorang laki-laki kemudian memberikannya sebuah piala berbentuk daun palma berwarna emas. Pierre menggenggam piala itu dengan erat dan seulas senyum telah tersungging di wajahnya.
            “Aku sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan penghargaan ini. Terima kasih banyak kepada juri-juri yang telah menilai film saya. Kepada  pemain yang terlibat, staff, dan produser. Tanpa kalian semua, saya tidak bisa mewujudkan ini semua. Bagaimana pun, piala ini menjadi milik kalian juga. Ini hasil kerja keras kalian, kerja keras kita,” kata Pierre dengan semangat yang menggebu.
            Kemudian di pikirannya terlintas sosok seseorang di masa lalunya. Tiba-tiba saja Pierre merasa hatinya terenyuh. Matanya hampir saja mengeluarkan air mata, tapi ia mampu menahannya. Pierre kembali bersuara setelah terdiam sejenak, “Dan yang terakhir, terima kasih banyak untuk masa laluku. Tanpanya, aku mungkin tidak akan berada di sini saat ini. Terima kasih banyak.”
            Pierre membungkuk sebentar dan berjalan keluar panggung. Langkahnya kembali diiringi dengan suara riuh tepuk tangan semua penonton. Suatu hal yang bahkan tak pernah ia impikan sebelumnya. Setelah 7 tahun belajar dan berkecimpung di dalam dunia perfilman, ia akhirnya bisa menunjukkan hasil yang diperolehnya kepada khayalak umum. Bahkan tanpa disangkanya, film pertamanya dapat masuk ke dalam jajaran Film Festival Cannes dan memenangkan penghargaan Palm d’Or. Penghargaan paling bergengsi dalam dunia festifal film di Cannes ini.
            Acara terus berlanjut selama sekitar setengah jam kemudian, hingga akhirnya benar-benar berakhir.
             Sebelum benar-benar keluar dari gedung pelaksanaan Film Festival Cannes, Pierre masih harus mengadakan konferensi pers mengenai film yang digarapnya. Dengan tegas ia menjawab satu per satu pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan. Seusai konferensi pers, Pierre langsung berjalan keluar dari gedung.
            “Pierre!” sahut seseorang. Suara laki-laki.
            Pierre menoleh ke belakang di antara padatnya orang-orang penting–termasuk dirinya–yang berjalan di atas red carpet untuk mencari asal suara. Seorang laki-laki dengan rambut berwarna auburn nampak melambaikan tangan ke arah Pierre. Kedua mata biru laki-laki itu menatap Pierre dari kejauhan. Laki-laki itu pun berjalan agak cepat mendekati Pierre.
            “Timothée  Lefèbvre ?” tanya Pierre agak ragu saat laki-laki tadi sudah berada tepat di depannya. Dan kini mereka agak sedikit menyingkir dari tengah-tengah red carpet.
            “Kau masih mengingatku?” tanya laki-laki yang diingat Pierre sebagai teman sekolahnya. Pierre mengangguk pasti.
            “Oh Pierre! Lama tidak berjumpa. Kau akhirnya berhasil menjadi sutradara terkenal. Selamat kawan!” kata Timothée yang dengan segera mengacak-acak rambut cokelat Pierre. Pierre tidak mengeluh sedikit pun karena ia tahu kalau itu adalah kebiasaan Timothée sejak lama. Ia justru terkekeh.
            “Merci beaucoup (terima kasih banyak),” kata Pierre berterima kasih atas ucapan selamat yang diberikan oleh Timothée. “Aku merindukanmu, kau tahu?”
            Timothée tersenyum lebar memamerkan sederet gigi putihnya. Senyumannya membentuk lesung pipit di kedua pipinya, hal yang sangat dibanggakannya sejak dulu. “Aku tahu. Sangat tahu. Aku juga.”
            Mereka berdua berjalan menuju ujung red carpet. Tak perlu menunggu lama, sebuah mobil sedan sport  Lamborghini Reventón berwarna hitam telah diparkirkan di hadapan mereka berdua oleh seorang petugas Valet Parking Service. Petugas itu membukakan pintu untuk Pierre dan memberikan kunci mobil tersebut pada Pierre.
            “Aku ikut?” tanya Timothée saat Pierre membukakan pintu di sisi kanan.
            “Tentu saja. Kita masih harus mengobrol lebih banyak lagi.”
            Timothée tampak ragu sebentar. “Baiklah. Aku akan menyuruh supirku saja untuk membawa mobilku pulang.”
            Timothée langsung masuk ke dalam mobil Pierre. Ia menelepon seseorang yang sepertinya merupakan supirnya, karena Pierre dapat mendengar Timothée menyuruh orang yang diteleponnya itu untuk mengantarkan mobilnya ke rumahnya.
            “Jadi kemana kita sekarang?” tanya Timothée begitu ia menutup sambungan teleponnya. Posisi mereka kini masih belum terlalu jauh dari gedung Palais des Festival et des Congrès.
            Pierre sendiri tidak tahu ia akan melajukan mobilnya ke mana. “Tidak tahu.”
            “Baiklah, kalau begitu ayo kita pergi ke suatu tempat yang menyenangkan. Akan aku tunjukkan jalannya. Kau menyetir saja,” kata Timothée dengan girangnya.
            Setelah perjalanan selama nyaris 10 menit, mereka akhirnya tiba di suatu tempat. Bangunan kecil yang menyerupai kafe, boulangerie (toko roti) dan semacamnya. Pierre memarkirkan mobilnya terlebih dahulu, namun Pierre memutuskan belum ingin keluar dulu.
            “Maksudmu tempat ini? Kau yakin?” tanya Pierre. Ia ragu dengan pemikiran temannya itu. Mereka berdua sedang memakai pakaian formal dan Timothée mengajaknya ke sebuah tempat–yang entah kafe atau toko roti–kecil. Ia pikir, Timothée akan mengajaknya ke sebuah restoran mewah.
            “Aku sangat yakin. Aku yakin kau akan segera menyukai tempat ini. Sangat yakin.”
            “Ya, baiklah. Tapi… dengan pakaian seperti ini?”
            Timothée pun menatap pakaian Pierre, juga pakaiannya sendiri. Pierre mengenakan kemeja berwarna hitam dengan dasi berwarna silver dan setelan jas putih. Terlalu resmi untuk sekedar makan di tempat kecil yang berada di hadapan mereka kini.
            “Lepaskan saja jas dan dasimu. Kau tidak akan terlihat formal dengan begitu.”
            Pierre menuruti perkataan Timothée. Timothée sendiri melakukan hal yang sama. Setelah itu mereka berdua langsung turun dari mobil dan mereka berdiri sebentar di dekat mobil Pierre.
            Pierre mengamati dengan seksama bangunan dengan nuansa warna pink pastel dan orange pastel. Matanya agak sedikit terbelalak saat melihat sesuatu yang terpajang di dalam toko itu. Rasa senang langsung menyelimuti dirinya saat itu juga.
            “Kau sangat menyukai macarons bukan? Ayo masuk! Macarons di sini tidak kalah enak dengan Ladurée,” ajak Timothée.
            Tempat ini adalah kedai macarons. Tentu saja Pierre tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagipula, sepertinya tempat ini merupakan satu-satunya tempat di Cannes yang menjual macarons. Sejak minggu lalu saat ia tiba di Cannes, ia tak menemukan satu pun tempat yang menjual macarons. Beruntung sekali saat ini ia menemukannya. Rasanya seperti ia akan segera bernostalgia dengan macarons Prancis–setelah lama tinggal di Italia dan harus memakan macarons Italia yang kurang cocok di lidahnya.
            Timothée yang pertama kali melangkah masuk ke dalam kedai itu, Pierre hanya mengikut di balik badan Timothée. Di dalam kedai, Pierre tidak menyangka pengunjung kedai memiliki jumlah yang bisa dibilang cukup banyak. Dan luasnya pun tidak sekecil apa yang dilihatnya di luar tadi.
            Pierre dan  Timothée langsung memesan satu boxset macarons berisi 12 buah macarons. Pierre cenderung memilih macarons rasa lemon yang berwarna kuning dan rasa orange yang berwarna oranye, sedangkan Timothée memesan berbagai rasa yang cenderung manis.
            Saat membayar di kasir, seorang gadis penjaga kasir yang berseragam kuning dengan rambut blonde yang dikuncir menyapa Timothée. Pierre agak heran saat menyadari kalau penjaga kasir itu mengenali temannya.
            “Sudah lama tidak melihatmu,” kata gadis itu. Kepada Timothée tentu saja.
            Timothée terkekeh sedikit sambil mengeluarkan secarik uang euro berwarna kebiruan. Uang 20 euro, ternyata murah juga harganya. Timothée memberikan uang itu kepada si gadis. “Selama ini aku berkeliaran di Paris. Sophie mana?”
            Pierre melihat raut wajah gadis itu agak sedikit berubah saat Timothée bertanya tentang seseorang bernama Sophie itu. Awalnya gadis itu terlihat sedikit bersemangat, kemudian ia tersenyum bergidik pada Timothée.
            Gadis itu memberikan bon pada Timothée dan menyerahkan macaronsnya juga. Mata birunya menatap Timothée dengan geli. Gadis itu tertawa kecil. “Dia sedang keluar. Bersama seseorang. Entahlah, mungkin lelaki.”
            Pierre dapat merasakan dengan jelas kalau Timothée yang berada di sebelahnya kini sedang bergerak gelisah. Apa yang terjadi sebenarnya, Pierre tidak mengerti.
            “Oh,” kata Timothée singkat. Sayangnya Pierre tidak bisa melihat raut wajah Timothée. Tetapi ia berani bertaruh kalau temannya itu sedang memasang muka datar tanpa ekspresinya.
            “Merci beaucoup,” kata gadis itu pada akhirnya seakan menyadarkan Timothée kalau ia tidak bisa berlama-lama berbincang, mengingat banyaknya orang yang mengantri. Gadis itu tersenyum lebar pada Timothée, hanya Timothée. Pierre sangsi gadis itu menyadari kehadiran dirinya, Timothée sendiri seperti tidak menganggap keberadaan dirinya. Pierre pun menyikut lengan kanan Timothée, sampai membuat Timothée sedikit mengaduh.
            “Sakit tahu?”
            “Salahmu. Kau tadi tidak menganggapku,” eluh Pierre.
            Sekarang Pierre dan Timothée sudah duduk di sebuah tempat. Menurut Pierre, kedai ini sedikit unik karena konsepnya. Kalau biasanya toko macarons hanya menjual macarons saja dan tidak menyediakan tempat untuk makan langsung, yang ini sedikit berbeda. Ada kesan kafe di dalamnya, dimana pengunjung dapat memesan kopi untuk teman santap macarons–tetapi tetap macarons adalah yang terutama di tempat ini. Meja-meja untuk makan sendiri tersedia di pojokan ruangan. Memang kapasitasnya tidak banyak, tapi setidaknya lebih nyaman karena bisa makan langsung.
            “Mm, baiklah maafkan aku.”
            Pierre hanya mengangguk kecil. Ia mengambil satu macarons pilihannya dan mulai melahapnya. Rasa almond terasa kuat, tapi filling lemonnya juga terasa kuat di dalam mulut. Ada sedikit sensasi dingin saat ia mengunyah macaronsnya. Sangat lezat. Pierre menggigit kecil macaronsnya lagi dan mengunyah dengan perlahan. Seakan ingin benar-benar menikmatinya.
            “Kau suka?” tanya Timothée.
            Pierre meletakkan macaronsnya yang kini tinggal setengah potong itu. Ia menatap Timothée yang sedang menyantap macarons miliknya sendiri.
            “Ya. Sangat suka.”
            Dan memang Pierre sangat menyukai macarons itu.
            “Baguslah kalau begitu,” kata Timothée yang kemudian memanggil pelayan untuk memesan 2 gelas cappucino.
            “Sejak minggu lalu aku mencari-cari tempat yang menjual macarons tapi tak kunjung menemukannya. Hebat sekali kau bisa tahu tempat yang menjual macarons bahkan dengan rasa yang selezat ini.”
            Pierre menyantap macaronsnya yang tersisa setengah potong dalam sekali lahap. Setelah menelan macaronsnya itu, Pierre kembali menatap Timothée lurus. Timothée bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
            “Kau yang kurang teliti mencari. Sebenarnya di sini ada satu toko macarons yang cukup terkenal juga. Ada Jean-Luc Pelé yang terletak di 36 Rue Meynadier. Memangnya kau mencarinya dengan apa? Mobil? Berjalan kaki?”
            “Mobil,” jawab Pierre, kemudian melanjutkan, “Memangnya kenapa?”
            “Pantas saja. Jean-Luc Pelé terletak di sepanjang jalan setapak batuan. Terlalu kecil untuk diakses mobilmu,” jawab Timothée lalu ia tertawa sendiri.
            Tiba-tiba Pierre teringat nama yang sempat disebutkan oleh Timothée dengan gadis penjaga kasir tadi. Entah mengapa, Pierre merasa agak penasaran dengan orang yang dibicarakan Timothée dan gadis tadi.
            Seorang pelayan membawakan cappucino pesanan Timothée tadi. Timothée dan Pierre pun  meneguk cappucino masing-masing.
            “Oh ya, Sophie siapa? Kekasihmu?” tanya Pierre penasaran setelah ia meminum cappucino-nya. Namun ia berusaha untuk tetap menjaga ekspresinya.
            Terlihat dengan jelas dari mata Pierre bahwa Timothée langsung tersedak setelah mendengar pertanyaan Pierre. Aneh. Gerakan gelisah yang sempat dilakukannya tadi di depan kasir, kini terulang lagi.
            “Bukan. Dia bukan kekasihku,” kata Timothée.
            Pierre hanya memberikan seulas senyum tipis. Mungkin Timothée tidak ingin membahas tentang ini. Pierre pun mengubah pembicaraan mereka. Dan mereka berdua mulai membicarakan kenangan masa lalu selama sekolah.

                                                                        ***

            ”Bagaimana bisa hari ini macet sekali?!”
            Sophie Fournier sudah hampir 15 menit berada di jalan yang sama. Boulevard de la Croisette. Sebuah jalan yang terletak nyaris di pinggir pantai.
            Entah bagaimana bisa, hari ini macet sekali. Padahal kesibukkan di kota ini tidak seperti kota besar semacam Paris. Menyebalkan.
            Ponsel Sophie yang diletakkannya begitu saja di dasbor mobil Mercedesnya bergetar. Sophie yang menyadari hal itu segera mengambil ponsel itu dan melihat layarnya. Tercantum nama Hellena Martin. Sophie langsung mengangkat telepon dari Hellena.
            ”Timothée kembali! Cepatlah kemari. Dia ada di toko sekarang,” kata Hellena dengan suara yang menggebu-gebu. Bahkan ia tidak sempat mengucapkan sapaan.
            ”Allô (Halo)?” gumam Sophie yang masih belum sadar sepenuhnya dengan serentetan kata yang disemprot oleh Hellena tadi.
            ”Timothée di sini, Sophie!” seru Hellena.
            ”Di sini maksudmu?” tanya Sophie yang tanpa sadar telah tersenyum tipis.
            ”Tokomu. Sophier's!”
            Toko? Sophier's?
            Sophie mengangkat sebelah alisnya dan sedikit berpikir.
            ”Jangan berusaha mengelabuiku Helly. Di mana katamu? Di tokoku? Yang benar saja. Dia sedang di Paris sekarang. Tidak mungkin ada di Cannes.” Sophie pun terkekeh pelan.
            ”Terserah kau.”
            Hening sebentar di seberang sana. Sophie hampir saja mematikan sambungan teleponnya sampai seseorang bersuara di seberang sana.
            ”Allô?” gumam orang di seberang.
            Suara itu...
            Sophie membelalakkan matanya. Ia yakin sekali bahwa itu adalah suara Timothée. Sophie tersenyum lebar dan wajahnya terasa panas. Pipinya kini telah merona merah.
            Baru saja Sophie ingin membalas sapaan Timothée, justru sekarang suara Hellena yang bersemangat, “Aku benar, bukan? Jadi cepatlah kemari sebelum dia pulang. Oh ya, kalau kau ingin berbicara dengan dia lebih lanjut, aku tidak bisa memberikan ponselku padanya. Tadi saat toko sedang sepi, aku mengambil kesempatan untuk meneleponmu dan menyuruhnya menyapamu–walau sebenarnya dia tidak tahu sedang berbicara dengan siapa. Dan aku langsung kabur dari hadapannya kembali di balik mesin kasir lagi. Jadi kau tidak punya kesempatan untuk berbicara dengannya lagi selain datang ke sini secepatnya.”
            Bisa ditebak oleh Sophie kalau gadis berambut blonde yang super cerewet itu langsung memutuskan sambungan telepon. Sophie kembali menatap lalu lintas di hadapannya. Mungkin sudah tidak terlalu macet, hanya saja kendaraan sedikit lebih padat dari biasanya. Menyebalkan.
            Sophie mengerang kesal sambil memukul kecil stir mobilnya. Sophie benar-benar sudah tidak sabar. Bagaimana pun sudah nyaris satu tahun sejak Timothée meninggalkan Cannes, dan saat ini ia sangat ingin bertemu dengan Timothée secepatnya.
            Begitu melewati gedung Palais des Festival et des Congrès, Sophie baru menyadari penyebab kemacetan yang sedaritadi membuatnya kesal minta ampun. Seperti biasanya setiap tahun, di Cannes ada satu acara penting yaitu Film Festival Cannes. Festifal film paling bergengsi di dunia yang diadakan setiap bulan Mei. Pantas saja macetnya minta ampun. Semua sineas terpilih dari seluruh dunia turut meramaikan festifal film ini.
            Untungnya Sophie sudah melewati gedung itu, sehingga kemacetannya sudah tidak separah tadi. Sophie cepat-cepat membanting stir mobilnya ke kiri menyeberangi Boulevard de la Croisette dan masuk ke Rue des Belges. Hanya butuh waktu 5 menit Sophie menyusuri jalan kecil itu hingga mentok, lalu ia belok ke kiri lagi memasuki Rue d’Antibes yang nyaris dipenuhi dengan butik-butik di sisi jalan. Di ujung jalan ada sebuah butik dengan gedung putih yang berdiri kokoh milik Zara. Sebelum mencapai butik itu, Sophie meminggir ke sisi kiri jalan lalu memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah kedai kecil dengan papan bertuliskan Sophier’s. Sophie agak terkejut saat melihat sebuah mobil sedan sport mewah yang terparkir di depan toko macarons miliknya itu.
            Sophie turun dari mobilnya. Dengan segera angin kencang menerpa dirinya hingga membuat rambut ikal chestnut­-nya sedikit berantakan. Sebelum melangkah menuju pintu masuk, Sophie merapikan sebentar rambutnya dengan jari-jemarinya. Ia harus tampil sempurna di hadapan Timothée.
            Saat berada tepat di hadapan pintu masuk kedainya, seorang laki-laki berbadan tinggi semampai dengan rambut cokelat dan mata hazel yang indah keluar dari dalam toko. Laki-laki itu menatap tajam ke arah Sophie–yang tanpa sadar telah memerhatikan laki-laki itu cukup lama. Laki-laki itu masih menatap Sophie dalam. Raut mukanya begitu serius, membuat Sophie sedikit canggung. Sophie merasa dirinya tidak pernah mengenali orang itu sebelumnya, hanya saja tatapan mata itu sepertinya tidak asing baginya. Entahlah. Sophie hanya memberikan seulas senyum tipis pada laki-laki itu dan langsung masuk ke dalam kedainya.
            Betapa senangnya Sophie saat menemukan sosok Timothée di dalam. Timothée ternyata langsung menyadari kehadiran Sophie. Timothée tersenyum lebar–begitu juga Sophie–dan Sophie langsung menghampiri laki-laki itu lalu melingkarkan kedua tangannya di tubuh Timothée.
            “Aku merindukanmu,” bisik Sophie.
            “Aku juga,” balas Timothée berbisik.

                                                                        ***

            Pierre masih asyik mengobrol dengan Timothée tentang masa lalu mereka. Pierre sebenarnya masih ingin berlama-lama kalau saja salah satu rekannya tidak meneleponnya dan meminta ingin bertemu. Mau tidak mau Pierre harus pergi dari toko macarons itu.
            Timothée terlihat sedikit kecewa saat tahu kalau Pierre sudah harus pergi. Pierre pun sedikit menghibur Timothée dan memberikan nomor teleponnya kepada Timothée. Mereka harus bertemu lagi lain kali.        
            Saat Pierre melangkah ke luar kedai macarons itu, Pierre melihat sosok seorang gadis yang sedang merapikan rambutnya di depan kedai. Begitu Pierre membuka pintu kedai itu, Pierre dapat melihat dengan jelas sosok gadis itu.
            Seorang gadis dengan rambut ikal berwarna chestnut. Cahaya matahari membuat mata gadis itu memancarkan warna oranye kekuningan. Dan seketika itu juga tubuh Pierre menegang. Sorot mata berwarna amber yang sedang menatap dirinya dengan seksama itu, membuat jantung Pierre berdegup lebih cepat.
            Gadis itu kemudian tersenyum kepada Pierre dan masuk ke dalam kedai. Pierre sadar betul kalau dirinya masih menatap gadis itu lekat-lekat.
            Dan setitik harapan yang nyaris musnah kini mulai tumbuh kembali.



©SefriskaMaria 27.05.12

No comments:

Post a Comment