Sophie membuka oven dan seketika itu juga aroma almond langsung menyerbu masuk ke dalam indera penciumannya. Sophie menghirup napas dalam-dalam seolah ingin benar-benar menikmati aroma macarons buatannya. Sudah merupakan suatu kewajiban baginya untuk memasak sendiri bagi kedainya. Sebenarnya ia sendiri bisa membiarkan karyawannya saja yang mengerjakan, tetapi ia tetap ingin memasak—setidaknya satu baki berkapasitas 30 pasang macarons—untuk kedainya sendiri.
Sophie mengeluarkan baki berisi macarons beragam warna itu. Ia menarik kertas perkamen—yang mengalas macarons—secara perlahan dari baki dan meletakkannya di atas meja untuk proses pendinginan macarons. Setelah beberapa menit, ia mulai mengetes kematangan macaronsnya. Terangkat dengan mudah dari kertas, dasar macarons rata, puncaknya tidak kenyal saat disentuh. Macaronsnya sudah matang sempurna.
Begitu Sophie merasa waktunya sudah cukup, dengan mata berbinar Sophie mengambil macarons yang telah dites kematangannya tadi. Setelah itu ia menyemprotkan ganache ke atas bagian yang nantinya menjadi bagian tengah macarons dengan menekan pastry bag. Sophie mengambil satu lagi macarons yang sewarna dan menangkup kedua bagian macarons itu hingga ganache di dalamnya tersebar sempurna sebagai filling macarons itu sendiri.
Lidahnya sudah tidak sabar untuk mencicipi macaronsnya itu. Sophie mulai menggigit kecil macarons yang tadi sudah diisi dengan ganache di dalamnya. Dalam sekejap macarons itu ‘meledak’ di mulutnya dan rasa cokelat dari ganache terasa memenuhi seisi mulutnya. Tak lupa juga rasa almond dan sedikit sensasi dingin. Kenikmatan dari macaronsnya membuat Sophie bergumam sambil tersenyum lebar.
“Gabrielle, lanjutkan.” Sophie memerintah salah satu karyawannya untuk melanjutkan proses pembuatan dari macarons yang telah dibuat oleh Sophie sebelumnya. Dengan cepat gadis berambut kemerahan itu, Gabrielle, melakukan tugasnya sementara Sophie menghabiskan macarons di tangannya.
Sophie pun kembali ke ruang kerjanya di lantai tiga. Begitu ia membuka pintu ruangannya, matanya langsung menangkap setumpuk kertas di samping vas bunga di atas meja kerjanya. Sophie baru saja duduk ketika ia mendengar suara ketukan di pintu.
“Ini aku Hellena,” kata orang yang tadi mengetuk pintu ruang kerja Sophie yang ternyata merupakan Hellena. Tak perlu menunggu lama, Hellena langsung muncul di hadapan Sophie.
Sophie mengamati temannya itu dengan kening sedikit berkerut. Hanya sekali lihat saja Sophie langsung tahu kalau ada sesuatu yang membuat mata hijau Hellena memancarkan sorot kecemasan. Gerak-geriknya menandakan ada sesuatu yang mendesak yang harus dikatakannya pada Sophie.
Merasa Hellena belum akan bersuara, Sophie lebih dahulu membuka percakapan. “Ada apa kawan? Bukankah kau seharusnya sedang kerja? Aku tidak akan pandang bulu dalam memperlakukan karyawanku. Meskipun kau adalah sahabat terdekatku. Bagaimanapun juga kau yang meminta—“
“—aku yang meminta pekerjaan ini dan seharusnya aku tidak bersantai melainkan bekerja keras kalau tidak mau gajiku dipotong,” sela Hellena dan langsung melanjutkan kata-kata Sophie sebelum Sophie menyelesaikan kalimat terakhirnya.
Sophie hanya dapat terkekeh pelan melihat Hellena yang sudah hafal dengan baik perkataan Sophie. Sebenarnya Sophie sendiri tidak pernah begitu serius dengan kata-katanya mengenai gaji yang dipotong. Hellena sendiri sebenarnya memiliki pengaruh besar dalam masa perintisan bisnis Sophie. Awalnya Sophie menawarkan posisi tinggi pada Hellena, tetapi gadis itu meminta untuk menjadi penjaga kasir saja—agar dapat melirik setiap pengunjung yang menarik pikirnya, gadis aneh.
Hellena sudah duduk di hadapan Sophie saat ia mulai bercerita.
“Orang itu datang lagi, Sophie,” kata Hellena.
Sophie menaikkan kedua alisnya. “Orang sia...” terhenti sejenak kemudian, “O-oh.”
“Oh? Hanya itu? Aku pikir kita—terlebih kau—seharusnya lebih berhati-hati. Sudah seminggu penuh dia terus datang ke sini. Dari yang sering kulihat dia sering memerhatikanmu—baiklah, mungkin hari ini tidak karena kau belum keluar saat dia datang. Aku hanya takut jika laki-laki itu adalah stalker.” Hellena menatap Sophie masih dengan sorot kecemasannya.
“Lalu Timothée adalah stalker?” tanya Sophie yang selanjutnya terkekeh.
Kedua mata Hellena membulat heran menatap Sophie. “Maksudmu? Tentu saja tidak.”
“Oh ayolah, kau tidak bisa begitu saja menuding orang yang datang ke sini setiap hari sebagai stalker. Kalau kau memiliki persepsi semacam itu, maka semua pelanggan kita adalah stalker? Bukankah begitu maksudmu?”
Hellena terdiam sebentar sebelum bersuara. “Tapi pelanggan tidak akan memerhatikan dirimu—atau siapapunlah yang bekerja di sini—dengan begitu seksama.”
“Dan Timothée?” Tanpa sadar seulas senyum tipis telah menghiasi wajah Sophie mengingat Timothée yang sering tertangkap sedang mengamatinya. Tiba-tiba saja Sophie merasa kehilangan Timothée karena ia sudah tidak pernah terlihat lagi sejak seminggu yang lalu, saat pertama kalinya Sophie melihat Timothée lagi setelah setahun.
“Baiklah. Aku kalah. Tapi bukan berarti aku sudah mencabut kecurigaanku pada orang itu. Aku hanya takut orang itu semacam orang yang pernah kauceritakan padaku, Sophie. Aku hanya mengkhawatirkanmu, kawan.”
Tubuh Sophie menegang. Tatapannya kosong dan seketika itu juga napasnya tercekat. Pikirannya melayang terlalu jauh. Sejenak terjadi keheningan.
Tidak, ia tidak ingin mengingat lagi.
Sophie mengerjapkan kedua matanya dan kesadarannya kembali.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkan diriku,” ucap Sophie pelan sambil tersenyum tipis.
“Sudah seharusnya begitu, bukan?”
Sophie hanya tersenyum.
“Ah, aku harus melanjutkan pekerjaanku. Kau mau ikut ke bawah?”
“Untuk apa?” tanya Sophie heran.
“Untuk melihat si stalker. Aku rasa dia menyukaimu.” Hellena tersenyum menyeringai menatap Sophie, yang dibalas dengan tatapan memicing Sophie.
“Dari tadi kau menyamakan dia dengan Timothée yang sudah jelas menyukaimu. Jadi kurasa, orang ini juga menyukaimu.”
“Yang benar saja. Dan sejak kapan Timothée menyukaiku?”
Kali ini Sophie dan Hellena sudah keluar dari ruang kerja Sophie dan sedang menuruni tangga menuju lantai dasar yaitu tempat penjualan. Hellena masih terus saja membicarakan tentang Timothée-yang-katanya-menyukai-Sophie juga bukti-kalau-Timothée-memang-menyukai-Sophie. Sophie malas mendengarnya, Hellena terlalu cerewet dan selalu saja berimajinasi sangat tinggi.
Setiba di lantai dasar, Hellena mencubit kecil lengan Sophie, membuat Sophie mengaduh pelan. Sophie melemparkan tatapan tajam ke arah Hellena.
“Lihat itu dia,” bisik Hellena.
Pandangan mata Sophie mengikuti arah pandang mata Hellena. Samar-samar terlihat sosok seorang lelaki berambut cokelat. Orang itu kelihatannya sedang menikmati macaronsnya. Entah mengapa Sophie merasa tidak asing dengan sosok itu.
Tiba-tiba Sophie mendengar suara nampan yang terjatuh dengan keras. Semua pengunjung langsung menoleh ke arah suara, begitu juga Sophie—yang ternyata suara itu berasal dari sebelah kirinya. Dilihatnya Hellena sedang mengangkat nampan yang jatuh, salah seorang pelayan tokonya juga ikut mengangkat beberapa yang terjatuh.
“Aku minta maaf. Tidak sengaja,” kata Hellena. Hellena mungkin bisa saja berkata tidak sengaja, tapi Sophie sangat yakin gadis itu pasti sengaja menjatuhkan nampan yang sedang dibawa untuk membuat kegaduhan. Supaya si lelaki—yang disebut oleh Hellena—stalker memandang ke arah Sophie. Sial, dia kira Sophie tidak tahu maksudnya.
“Lihat, dia menatapmu lagi,” bisik Hellena yang sudah selesai merapikan nampan-nampan yang terjatuh.
Sophie memicingkan matanya menatap Hellena. “Jelas saja, kau membuat kegaduhan agar dia melihat ke arah kita, bukan?”
Hellena hanya tersenyum lebar dan kembali bekerja di balik mesin kasir. Sophie memberanikan dirinya untuk melirik ke arah laki-laki tadi. Entah apa yang dirasakan Sophie saat menyadari kalau laki-laki itu sedang menatapnya dalam. Namun, setelah sadar Sophie meliriknya, laki-laki itu memalingkan wajahnya.
Jujur saja di dalam hati Sophie, sebenarnya terselip rasa penasaran yang cukup besar terhadap laki-laki itu. Sophie merasa tidak asing, tapi... entahlah.
Iseng, Sophie berpura-pura berjalan keluar dari tokonya dengan alasan konyol saat ditanyakan oleh Hellena ketika mereka berpapasan.
“Ingin mencari udara segar,” jawab Sophie asal dan langsung melenggang pergi menjauh dari hadapan Hellena.
Oh, ia sudah gila. Jelas Sophie merasa dirinya sudah gila saat ia sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki itu. Sesekali juga tatapan mereka saling bertemu. Agak aneh sebenarnya saat tatapan mereka bertemu dan Sophie merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Saat tatapan mereka kembali bertemu pada waktu Sophie berpapasan tepat di hadapan laki-laki itu, ia merasa wajahnya menjadi panas.
Seketika itu juga, Sophie ingat.
Tapi, mungkinkah?
©15.06.12 SefriskaMaria
a/n: halo semuanya, maaf banget lama updatenya. Sehabis ujian kemarin baru sempat lanjutin nulis lagi. Chapter ini memang singkat, bukan karena ngejar waktu, tapi memang sudah terancang begini. Ditunggu kritik dan sarannya. :D
No comments:
Post a Comment